Sunday, December 4, 2016

Nobody Knows


Hei Gie, sekarang sudah masuk bulan Desember, bulan dimana kau dilahirkan di tanah air ini, bulan yang sama juga dimana alam memanggilmu kembali kepelukan Ilahi. Badai besar melanda ibu kota dan sekitarnya Gie, tapi tenang tak separah badai yang mustinya bisa kita rasakan ketika Gunung menjadi pijakan kaki kita, dimana angin yang menyejukkan berubah menjadi satu hal yang sangat mematikan. Ngomong-ngomong bagaimana kehidupan disana Gie? Apa kau menyesal dengan tak selamat dari Semeru kala itu? Atau kau justru bersyukur atas kejadian itu? Aku ingin tahu jawabannya Gie, tenang, tak perlu kau jawab sekarang, nantipun ketika kita bertatap tak apa.

Aku kemarin kehilangan nurani dan akal sehatku, Gie. Bayangkan saja, aku melakukan hal yang akupun tak pernah mampu membayangkannya. Tapi itu mengingatkanku akan kata-katamu, tidak ada orang yang mampu melihat masalah yang aku lihat, tidak ada orang juga yang mampu merasakan penderitaan yang aku rasakan. Aku sekarang justru menumpulkan kemampuanku, bukannya justru meruncingkannya. Bagaimana ya Gie, namanya hidup ini memang tak mampu dijalani dengan puisi-puisi saja, tak mampu dijalani dengan janji-janji semata. Ada hal-hal yang sifatnya bukan duniawi, yang aku sebagai umat dunia ini tak mampu mentranslatenya. Itulah mengapa aku bertanya, siapa tau kau mampu membantu, Gie.

Tuturku mati, pandanganku kabur, raba tanganku pun telah kaku Gie, lalu ini apa lagi? Hari ini mungkin baik bagiku mencari hati nurani, yang telah lama aku tinggal entah dimana. Jika nanti aku sudah menemukannya, aku rela cepat bertemu dengan mu Gie. Tapi tunggu dulu, aku masih butuh sedikit waktu, lagi.

Sunday, November 20, 2016

Waktu

Kata Charlene, waktu Tuhan bukan waktu kita, jangan sesali keadaannya. Mungkin mendengarnya tidak semudah mengaplikasikannya. Siapa yang tidak memiliki trauma, siapa yang tidak memiliki kekuawatiran? Pastilah semua orang merasakannya, baik yang disadari maupun tidak. Disaat-saat seperti ini, kok rasanya terinspirasi sekali dengan Gie, yang mati 1 hari sebelum hari ulang tahunnya. Tapi setelah dipikir-pikir lagi, yaelah, apa yang udah dibuat selama hidup ini? Karya? Nol besar, yang ada masih egois mikirin diri sendiri, sedangkan Gie? Patriotisme yang dia kenal bukan sekedar slogan, dia bisa mencintai negerinya, dan wanita-wanitanya dari hati.

Lalu sekarang bagaimana? Memilih berkarya atau berenang dalam impian-impian semata? Tentu setan sudah menengok, mengintai tajam, menunggu saat-saat lemah, lalu menyerangnya, tanpa kita bisa mengelaknya. Terus bagaimana? menyerahkah? Mungkin sekarang adalah kesempatan untuk kembali lagi. Terlihat gila, dan kagum luar biasa. Masakan ada satu pribadi yang terus setia menanti, padahal apa yang kita lakukan itu adalah apa yang tidak mengenakkan di hadapannya. Bahkan sampai satu titik, kita sendiri yang merasa bahwa jijik dengan setiap penyesalan, yang lagi dan lagi, tapi terus terulang. Namun, kenapa dia tetap berada disana? Menanti, bahkan ketika aku mencoba menirunya, tak kuat raga dan jiwa ini.

Satu kata, thankyou :), meski itu tak akan mampu untuk menghapus setiap kelakuanku dulu.

Saturday, November 19, 2016

Babak Baru

Hei, the sleeper datang dengan tampilan baru loh. Semoga dengan perubahan ini apa yang bakal di posting kedepannya nanti bakalan konten-konten yang berbobot, setelah sebelumnya kebanyakan buat mencurahkan isi hati. Tapi nanti kalau the sleeper bakalan tetep sering curhat ya maafkan, karena natur blog ini emang untuk papan kreasi kata hati.

Sebelumnya belakangan kepikiran nih the sleeper tentang arti dari penyesalan yang sebelumnya sempat pernah di takutkan dengan sangat. Tapi this is now, disinilah sekarang the sleeper berada, dan jika ditanya apakah menyesal selama ini, jujur pengen balik tanya, apa yang perlu disesali untuk segala sesuatu yang telah diperjuangkan dengan maksimal, apalagi menggunakan hati. Tak bisa the sleeper pungkiri, namanya sedih ya pasti. Tapi untuk apa yang telah terjadi, the sleeper bersyukur, buat waktu yang mungkin orang bilang itu buang-buang, tapi bagi the sleeper ini yang namanya proses, jalani dengan hati.

Sekarang seandainya ditanya, terus plan ke depan apa nih? Ya, ini respon the sleeper, mengejar mimpi. Waktu dan hidup kan punya Sang Ilahi, masakan Dia bakalan kasih apa yang anakNya ngga butuhin sih? Kan tergantung, kitanya setia atau ngga dan mau atau ngga. Masih banyak bucked list dan mimpi-mimpi, mari berbagi, dan belajar terus menjadi inspirasi. Isi hidup dengan sesuatu yang bermakna, masa lalu ada untuk sebuah alasan, masa depan menanti untuk sebuah perjuangan. Jangan mau berhenti, dan mati, ingat Dunia itu ngga terpatok pada pulau Jawa aja, kenali dan syukuri.

Monday, November 7, 2016

Mungkin Sebenarnya Sama

Hei, The Sleeper sedang pusing. Haha, ngga penting juga curhat sebenarnya, tapi tak mengapa, siapa tahu yang membaca catatanku ini akan memberikan masukan dan pandangannya, yang pasti akan memperkaya bagaimana logikaku dalam mencernanya. Karena ini cerita nyata yang dialami oleh teman dekat The Sleeper dan sedikit dialami oleh The Sleeper juga.

The Sleeper diperhadapkan dalam satu kondisi yang mungkin ini sederhana tapi tidak untuk saat ini, ini membingungkan. Hidup memang selalu punya pilihan, karena memang kita adalah ciptaan yang luar biasa, ciptaan yang istimewa. Tapi jujur, dosa dan kemanusiaan, sering mendistorsinya, sehingga The Sleeper kadang bias dalam memandangnya. Sebenarnya mau The Sleeper  memandang bagaimanapun, kebenaran itu kan miliki sang Pengetahuan, ya kita hanya mampu mempelajarinya dan menerkanya, dosa telah meracuninya.

Bayangkan jika kamu diperhadapkan dalam suatu hubungan yang begitu berat, begitu tidak mungkin, begitu melelahkan apa yang harus kamu lakukan? Kamu merasa menjadi seonggok sampah, yang tidak berarti lagi, sebenarnya bukan karena pasangannya, tapi mungkin karena hubungannya. Bagaimana coba? Padahal rasa sayang yang kamu miliki begitu besar terhadap pasanganmu itu.

Quote duniawi pasti akan mengatakan, ya namanya sayang tak harus memiliki, sayang juga harus merelakan, siapa tahu dia akan jauh lebih bahagia lagi. Wait, ini sebuah ketulusan atau penyerahan? Aku juga tak mampu membahasakannya, yang tahu persis adalah kita yang merasakannya. Tapi benarkah? Apa yakin kasih itu tidak memiliki? Kasih itu merelakan? Pertanyaan The Sleeper sebenarnya simple, apa yang hendak kau miliki, dan apa yang hendak kau relakan? Belajar dari kasih yang sejati, memang kasih tak akan pernah menyerah, bahkan ketika orang yang dikasihinya tak menunjukkan sebaliknya, ia justru rela memberikan segalanya, bahkan jika itu sebuah nyawa. Tapi The Sleeper sadar, bahwa kita adalah manusia, dosa telah mendistorsi, yang kita pandang mungkin terlihat benar tapi belum tentu. Bahwa jika pada akhirnya masih ada tanda tanya, lalu bagaimana? Apakah merelakan atau memperjuangkan? Jawabannya mungkin apa yang direlakan dan apa yang sebenarnya diperjuangkan. Jika pada akhirnya adalah aku, lalu itu akan sama saja. Tapi jika memang fokusnya adalah Pencipta, Dia tak akan pernah kurang kuasa. Karena Dia telah mencontohkannya, hanya kita saja yang penuh dosa, pasti akan sulit menirunya. Jadi pilihan tadi mungkin sebenarnya sama, hanya kembali lagi, apa tujuan dan fokusnya. Akankah masih aku, atau Dia, itu saja.

Tuesday, November 1, 2016

Surat Untuk Seorang Teman

Dear my friend,
Seseorang yang aku panggil sebagai sahabat, seseorang yang dalam kata kita jarang berbicara, tapi dalam laku kita saling menyapa, atau dalam tatap kita saling berkata.

Tahukah kamu, belakangan ini banyak sekali hal-hal yang boleh terjadi dalam hidupku ini, baik itu adalah hal yang menyenangkan, maupun sebaliknya. Tapi tentunya aku yakin kamu akan setia menanti, membaca setiap kata yang mungkin saja ada distorsi dari apa yang ada di dalam hati, tapi semoga mampu mewakili. Singkatnya saja, siapa yang menyangka, dalam setiap pergumulan panjangnya, aku boleh mendapatkan yang aku baca sebagai sebuah jawaban doa. Akupun yakin jika hal ini terjadi dalam hidupmu, kau akan kalap, atau tak jernih mencernanya. Semuanya seolah menjadi cokelat yang begitu terlihat manis mengenakkan, padahal kita belum tau bentuk dan bahan aslinya, apakah benar itu cokelat, atau daging, atau bisa saja kotoran kucing? ya siapa yang tahu, tapi bukan hati manusia namanya jika tidak menerimanya lalu merayakannya, akupun iya, bahagia.

Tak berselang lama kawan, namamu terlintas bagai petir menyambar di telinga dan depan mukaku. Kamu yang memang terlihat begitu baik dan begitu sempurna, kenapa bisa melakukan itu kepadaku? Kenapa kamu mampu? Aku terlalu pede mungkin, padahal bisa jadi tak ada aku sama sekali terlintas di pikiranmu, hanya duniawimu yang menyelimuti hati dan pikiranmu, bahkan perbuatan kejimu. Tapi teman, adakah kamu tahu kenapa itu harus terjadi padamu? Apakah kamu memikirkan itu saat ini? Kembali lagi, itu bukan hak ku untuk mencampuri ranahmu, tapi pesanku, kamu berhasil, mendegradasi sebuah masa depan, bahkan masa depanku sekalipun.

Lalu bahagiaku menyelimuti, datang khilaf dengan hiruk pikuk dan indah dunia, akupun dibuat terbuai dengan kata-kataku. Menelan ludahku, lalu merasakannya. Disini aku bodoh teman, aku tak mampu menghindari pesanku sendiri terhadapmu. Dunia ini begitu berputar cepat hingga aku tak sempat berfikir untuk memutuskan harus bagaimana, dan tibalah, pada saatnya penghakiman, yang akupun tak mampu mengelak, akupun salah. Meski dosaku masih saja berkata, masih beruntung kamu teman, sembari aku menelan ludahku sendiri.

Kini aku tak punya pilihan, aku ingin berkata dalam tatapmu lagi, bahwa akupun tahu, baik putihnya, maupun hitamnya. Tapi itu bukan fokusku. Aku ingin menceritakan tindakanku kali ini teman. Aku beroleh banyak pencerahan dan kelegaan. Aku hanya seorang pengusaha muda yang masih jarang berkreasi, tapi apakah kau tahu teman, bahwa banyak klienku yang datang kepadaku, lalu meminta beberapa tuntunanku untuk pengembangan usahanya juga. Jujur, aku tidak bisa menolak ini sebagai sebuah kebahagiaan. Jujur aku memang tak dibayar rupiah olehnya, tapi aku tau, sebagai seorang pengusaha, klien adalah raja. Jadi melalui beberapa diskusi dengan rekan sekerjaku, atau klien-klienku, aku mampu melihat bahwa jalan yang harus aku tempuh adalah komitmenku di dalam Tuhan. Inilah yang aku coba jalani sekarang, belajar bagaimana dapat melihat segala sesuatu dari sudut pandang yang Benar. Kau boleh saja juga terlibat sebagai temanku yang antagonis, yang menyalahkan keputusan masa laluku, tapi apalah dayaku, itu tak mampu aku ubah, meski hanya sekedar memori belaka. Fokusku masa depanku, dan masa depan siapa yang tahu? Aku hanya mau belajar untuk semakin benar di dalam Tuhan, ini juga sebenarnya inti pembicaraan ku tentang saran-saran kepada klien-klienku. Aku percaya ada saatnya nanti Tuhan akan memberikan pengertian kepada logikaku untuk memahami ini. Untuk setiap tanda tanya ini.

Hei teman, bagaimana kabarmu sekarang? Senang rasanya tetap bisa melihat senyumanmu. Senang tetap bisa melihat karyamu, semoga kamu tidak melakukan masa lalumu lagi, membuyarkan masa depanku. Aku tetap temanmu, yang memaafkanmu. Teman yang dalam kata kita jarang berbicara, tapi dalam laku kita saling menyapa, atau dalam tatap kita saling berkata.

regards.

Ps: "keep your friends close and your enemy closer" Sun Tzu

Sunday, October 30, 2016

Hei kau, Gie

Akankah sekarang kau menyebut dirimu sebagai seorang yang beruntung, Gie? Tak lebih dari 2 tahun kau melihat pemerintahan di tangan orang yang baru, lalu kau memilih untuk tiada. Siapa kau sebenarnya Gie? Seorang yang mampu menghidupi setiap kata-katamu. Benar, kau memilih untuk diasingkan, daripada mengalah kepada kemunafikan. Atau kau mampu berjuang untuk sesuatu yang bukan apa-apa? Atau menurutmu cukup kau memberi contoh soal patriotisme yang tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan, atau kau sudah cukup mengenal negeri ini dan budaya-budayanya? Tidak kah kau mau untuk hidup lebih lama lagi, menjadi pendobrak bagi kemapanan semu negeri ini, Gie? Atau menjadi seorang pejuang cinta dengan kata-kata gombalanmu yang sungguh mempesona? 

Iya, kau benar Gie “Makhluk kecil kembalilah. Dari tiada ke tiada. Berbahagialah dalam ketiadaanmu.” kini kau sedang berbahagia, aku yakin, saat itu juga kau sedang menangis sebenarnya.

Monday, October 10, 2016

Totally

Sudahkah kalian menikmati betapa serunya film Catch Me if You Can? Masih terus terbayang jelas, bagaimana Frank dengan begitu terlatih menjadi seseorang yang mampu meraup keuntungan secara pribadi hingga milyaran Dollar. Tapi bukan disitu poin yang ingin the sleeper ceritakan, tapi bagaimana ia sangat menguasai perannya, bagaimana ia memilih jalannya secara totalitas, tidak setengah-setengah dengan latar belakang sakit hati karena melihat kondisi orang tuanya, khususnya sang ayah. Yang pada akhirnya ketika kebenaran telah disingkapkan, ia juga menjadi seseorang yang total dalam kebenaran itu sendiri.

Tertawa rasanya, sempat memiliki iri kepada orang-orang yang memiliki ini dan itu. Betapa mereka di elu-elu kan oleh pasangannya, teman-temannya, rasanya mereka melakukan totalitas dalam kehidupannya. Sayang ketika kebenaran menyingkapnya, mereka juga tidak lebih dari sekedar manusia berdosa pada umumnya. Tapi siapalah orang yang mampu mengomentari, jika apa yang muncul selalu hal-hal yang baik? Selalu hal-hal yang menyenangkan dan diinginkan? Secara religius dikatakan justru terus mendekatkan teman-temannya atau pasangannya kepada sang Khalik? benarkah? Logika macam apa, ketika seseorang mendekatkan diri teman-temannya, atau pasangannya kepada sang Pencipta, tentu mereka akan menjalani dengan sepenuhnya bukan sebaliknya, malah menjerumuskannya? atau bukan penampakannya saja? Tapi kenapa fakta yang ditemukan berbeda? Atau sebenarnya as simple as sebenarnya mereka itu tidak total, itu saja, tapi siapakah yang berhak menghakiminya?

Teori inipun the sleeper yakin muncul berdasarkan ketidak totalan dari pemikiran the sleeper itu sendiri. Kebingungan, menjadi total dalam dunia, atau total dalam kebenaran. Kembali lagi, memang sebenarnya tidak ada ranah abu-abu, dimana keraguan dan ketidak mantapan hanya akan berlahan menggerogoti kebenaran. So, pesannya adalah total, pilihannya, di jalan yang mana.

Saturday, September 10, 2016

Antara Harga Diri, atau sebuah Dedikasi?


Aku membawa cerita dari negeri seberang, dari seorang kawan yang selalu bertanya-tanya, tentang arti kata, yaitu tujuan. Temanku mengaku, bahwa dirinya sempat bertanya-tanya, sebenarnya apa itu sistem, apa itu kebenaran. Kenapa yang ada justru terlihat sebagai sebuah penjegalan, sebuah penghakiman, dan sebuah hukuman, tanpa rela mengerti, atau setidaknya mendengar. Aku tahu dia hanya seorang pelajar yang penuh tanda tanya di kepalanya, meski terselib beberapa tanda seru diantaranya. Tapi bukankah tugas dari sang pendidik adalah mendidik? Aku merefeksikan diriku sendiri, lalu teringatlah aku pada satu kata-kata sang maestro Soe Hok Gie.

"Guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan Dewa yang selalu benar, dan murid bukan kerbau" - Gie.

Lalu aku sedikit berpikir, apa iya, selama ini banyak para pendidik merasa bahwa dirinya adalah seorang dewa yang telah tahu segalanya? Bukankah seharusnya semakin seseorang belajar, ia semakin merasa bahwa ia tak tahu apa-apa. Tapi kembali lagi, antara harga diri dan dedikasi memiliki garis pemisah yang jelas. Jujur aku merasa risih, ketika ada seorang murid mengkritikku, memprotes teori-teori ajaranku, atau mengeluhkan cara-caraku. Lalu aku bertanya pada diriku, salahkah murid-muridku melakukan itu? Atau sama dengan temanku yang melakukan itu pada pendidiknya? Salahkah? Cukup menjadi klise ketika pendidik ingin meningkatkan berpikir kritis dan kreatif anak-anaknya, tapi justru menjegal ketika mereka menunjukkannya? Lalu aku harus bagaimana? Berasa menjadi dewa yang benar dalam segalanya? Atau mengakuinya?

Sudahlah, pesanku singkat pada temanku.
Murid memang bukan kerbau. Mereka pribadi aktif, kreatif, dan kritis. Berikan ruang mereka mengasah itu, tugas pendidik adalah koridornya, bukan memotongnya. Tunjukkan dalam harga dirimu, ada satu dedikasi yang murni. Dan tetaplah kritis, dan jangan memilih untuk menjadi apatis.

Saturday, July 30, 2016

Tepian


"Kadang menepi lalu sendiri, menjadi satu alternatif yang manjur dalam mengobati. Disitu aku belajar bahwa hidup tak perlu menyalahkan siapa-siapa, cukup untuk belajar dari apa yang terjadi. Dan saat aku mendaki, aku bukan berarti pergi, aku hanya memastikan hatiku, bahwa Tuhan masih jauh lebih besar daripada kesombongan yang aku miliki. Lalu ketika nanti aku kembali, saat itulah aku akan mengerti, rumah mana yang terus menanti. Baik pergiku, maupun kembaliku, dan ingat ini bukan penghianatanku, ini persiapanku." - 2015

Sunday, July 24, 2016

Kejarlah yang Benar

Jika seandainya aku boleh melangkah, rasanya aku ingin kembali. Selama ini aku sudah cukup lelah, aku mengejar dan terus mengejar, hal-hal dunia yang jelas-jelas salah. Apakah masih layak? Aku sadar ini bukan hukum sebab akibat, ini bukan soal karma. Aku mendapat karunia bukan karena apa yang telah aku tanam, bukan juga tentang apa yang telah aku lakukan. Ini benar-benar sebuah anugerah.

Tak perlu lagi aku menguras pikiranku dengan hal-hal yang bersifat sementara, ada satu yang hakiki, dan aku tak menghiraukannya lagi. Kini, saat aku ditangkapNya lagi, biarkan ini menjadi satu keputusan yang akan aku ambil. Karena bukan keadaan yang bisa aku perbaiki, tapi diriku sendiri. Saat inilah, aku ingin kembali belajar, merasakan setiap sentuhan sang Maestro dalam setiap tragedi dan nada-nada minor.

Waktu itu hanya media saja, jika kelak aku diberi mengerti, bahwa apa yang aku perjuangkan selama ini bukan untuk hal-hal yang aku ingini, aku percaya Dia tahu yang terbaik. Tugasku sekarang adalah kembali dan mencoba mengerti, bahwa Dia itu setia, dan terus menanti. Aku percaya bahwa umatMu akan terus belajar menjadi serupa denganMu. Engkau yang terus setia dan menanti, hingga seperti saat ini aku kembali, Kau tetap membuka tanganMu, murkaMu sudah berlalu, kini kasihMu yang melingkupiku. Kini penyertaanMu yang akan menjadi panduku.

Bukan aku tidak mau percaya lagi, bukan juga tidak mau aku mendengarkannya lagi, kata-kata duniawi, quote-quote yang kadang mendistorsi. Tapi kadang aku menggunakannya untuk menuntun kehidupanku, atau pikiranku, bukan dengan ManualMu yang seharusnya aku pegang dan aku renungkan. Aku takut aku sudah me-tuhan-kan hal-hal tersebut, atau bahkan me-tuhan-kan apa yang ada disekitarku. Hari esok Kau yang pegang, kejutanMu memang tak masuk dilogika, tapi aku ingin bersandar, aku ingin terus berserah, pada-Mu yang Hakiki.

Thursday, July 21, 2016

Buat 'kamu'.

Entah bagaimana aku harus berkata atau bertindak. Menanggapi apa yang telah terjadi dan akan terjadi. Masa lalu aku tahu, masa depan Dia yang tahu. Masa lalu, ya kini aku sudah berdiri di penghujung liburan. Meskipun sepertinya aku cukup curang, aku merasa aku telah mengambil start liburan lebih awal. Apa? Ya tentu saja senang, banyak pengalaman tak terduga boleh aku dapatkan, dari yang paling membahagiakan, hingga paling menyakitkan. Tapi aku mensyukuri hari demi hari, ada saja yang Dia mau sampaikan, dari sebuah omelan, atau kelegaan. Terdengar egois mungkin, tapi memang sudah lama aku tak memikirkan diriku sendiri, dan ini, membuat aku mengerti, ada kalanya aku juga butuh untuk merasa, apa yang namanya bahagia, berawal dari rasa menerima, legowo orang Jawa menyebutnya. Banyak hal-hal yang dulu hanya stuck di gambaran maupun impian semata, boleh aku alami secara langsung, wow, paket lengkap kayaknya, meski banyak pengorbanan, tapi inilah hidup, penuh pilihan dan tidak ada yang tidak butuh pengorbanan. Bodoh? tidak juga, aku tahu apa yang sedang aku lakukan. Iya mungkin terlihat bodoh, tapi menurutku hanya orang bodoh yang memilih hidup dan mati nanti dengan rasa menyesal, atau minimal tak tahu apa yang selama ini dikerjakannya. Aku memilih untuk dikatai bodoh, tapi aku tahu apa yang menanti didepan sana, impian yang aku dambakan, dan tujuan yang aku perjuangkan. Meski masih banyak tantangan terbentang di depan, ya itu memang paket yang harus dikerjakan dan didoakan. Masih jelas kok, tentang lagu-lagu yang didengarkan, tentang matahari yang berlahan naik, atau berlahan terbenam, tentang lembut suara air, tentang canda atau tawa, juga tentang cerita yang memang kadang membawa luka. Aku menikmatinya, mensyukurinya, anugerahNya memang kadang tak diterima logika.

Masa depan nanti, tentu aku percayakan saja kepadaNya. Dia yang akan terus merajut setiap asa yang aku panjatkan dalam doa. Maaf jika dalam cerita egoismeku ini ada hati yang terluka. Aku tahu biasanya aku akan mengalah, tapi kali ini aku akan melangkah.

Kesibukan kedepan, aktifitas kedepan, kegiatan kedepan, akan menyita banyak pikiran serta waktu, baik punyaku, punyamu, atau punya mereka. Tapi ingatlah, Tuhan punya banyak cara, bukan soal menjaga rutinitas, bukan juga soal bertukar kabar belaka. Ada hal yang Dia mau kita tajamkan, mungkin itu soal kesabaran. Jika waktu benar adalah media pembuktian, dia tidak akan pernah berdusta untuk menyampaikan apa yang Dia inginkan dalam hidup kita. Jalanilah, bersukacitalah, syukurilah. Petualangan hidup kedepan akan jauh lebih menantang, akan jauh lebih menegangkan. Bersiaplah, dan percayalah.

Wednesday, July 20, 2016

2958 part 3

Puncak, sepertinya nama tempat tersebut sudah tidak asing lagi bagi masyarakat yang tinggal di ibu kota. Dingin suhunya, macet jalannya, sejuk hawanya, indah panoramanya, enak makanannya, dan lekat kenangannya. Akh, nostalgia mengingat tempat satu ini. Dulu saat masih duduk di bangku sma, sering mendengar dan memimpikan, akhirnya Tuhan ijinkan merasakannya saat-saat ini. Tapi bukan sekedar Puncak yang akan aku bahas kali ini. Penghujung liburan ini aku diberikan kesempatan untuk dapat pengalaman menatap Puncak dari ketinggian. Sebenarnya ini kali ketiga bagiku menapaki perjalanan ini, perjalanan pertama sudah aku sharingkan sebelumnya sekitar 3 tahun yang lalu, kemudian yang kedua akan ku simpan, ini milik pribadi, banyak kejadian dan cukup ada di hati. Lalu ini yang ketiga, cerita perjalanan, menatap bumi dari julangan tanah yang seolah membentuk tebing-tebing tinggi darinya, ya puncak Gede (2958 mdpl) adalah tujuanku.

Perjalanan kali ini aku akan menjadi peserta rombongan yang diketuai oleh pembimbing rohani dari FF. Rencana awal perjalan ini akan diikuti oleh 14 pendaki, terdiri tim UPH 9 dan ITI 5. Namun karena beberapa faktor yang tidak dapat dijabarkan akhirnya menjadi UPH 4 dan ITI 6. Salah satu dari kami adalah anak dari pembimbing rohani kami, panggil saja dia Navy, ya usianya mungkin belum genap 13 tahun, tapi ini adalah salah satu pendakian yang memang dirancang sebagai salah satu kado atas kelulusan dari Sekolah Dasar.

Segala persiapan pra-pendakian telah diatur sedemikian rupa oleh sang ketua, pak JH. Aku sebagai peserta disini bisa menikmati liburan lebaran tanpa membingungkan persiapannya. Hanya beberapa logistik dan perihal administrasi yang harus aku siapkan.

Tuesday, July 19, 2016

Keadilan Jiwa

Semakin kesini, seharusnya semakin bertambahnya usia semakin juga bertambahnya pengetahuan. Nyatanya, justru kadang the sleeper sering terjebak dengan hal yang disebut dengan pengertian. Apalagi jika itu sedang dikaitkan dengan keadilan. Rasanya meski telah memeras otak begitu dalam, tetap saja the sleeper bukannya semakin paham, justru semakin hilang.

Tahu sih, bahwa memang keadilan bersifat sangatlah relatif, atau dapat juga the sleeper katakan sebagai manifestasi suatu pandangan personal. Jadi belum tentu apa yang menurutmu adil dapat diterima oleh the sleeper sebagai sebuah keadilan, atau sebaliknya.

Ada orang yang sedang berjuang demi sebuah kebaikan dan kebenaran, ya benar langkahnya belum sempurna, tapi setidaknya mengalami peningkatan. Ada juga orang yang mengaku berjuang demi sebuah kebersamaan, tapi justru merenggut impian dan masa depan. Lalu manakah yang pantas untuk menerima celaan, atau hinaan? Akh keadilan itu relatif, kamu akan pusing memikirkannya, yang perlu dilakukan adalah berhenti membandingkannya. Sang Adil yang sejati tahu bagaimana menakar porsinya, dan kita hanya melakukan saja apa yang dikatakanNya. The sleeper sadar, ini hanya keinginan semata, keinginan akan sebuah keadilan, hasil dari membandingkan, hasil dari keegoisan. Ya itupun sebenarnya tidak dibenarkanNya.

Thursday, June 23, 2016

Anak Kota itu Pecahkan Gelasku

Farhan, ya panggillah aku Farhan
Bocah pinggiran yang tak tahu apa-apa
yang hidup dari tiupan angan
tertangkap oleh senja, maupun petang.
Sesekali aku perlu mengusap ingusku,
mengalir deras bak terpaan masalah
dalam hidup ini,
tak mampu berhenti mengalir.

Lalu keajaiban datang,
Sang Ayah memberiku sebuah gelas yang begitu menawan
cantik aku memandangnya.
Tapi siapalah aku, bocah yang tak tahu apa-apa
yang hanya tahu bagaimana bermandi lumpur,
yang hanya mampu bermain gundu
Begitu aku ingin menjaga gelas itu,
kadang tak sadar aku menyembunyikannya dalam tumpukan jerami,
biar tak ada orang mampu mencurinya,
tapi kepolosanku itulah yang kadang membuat goresan
goresan dalam keindahan gelas itu, maafkan.
Atau kadang aku mengusapnya dengan kekawatiran
bahwa gelas itu akan kotor jika tak aku bersihkan,
sayang, aku sering mengusap dengan tangan kasarku,
yang lagi-lagi justru melukai kilauan gelas itu, maafkan.
Lalu kembalilah, siapa aku Farhan,
sebatang bocah ingusan.

Dan anak kota itu, datang dengan sebuah penawaran.
Tentu sangat menjanjikan,
lemari kaca, pembersih berbahan lembut, pengkilap,
dan jutaan lainnya,
yang membuatku hanya mampu teringat pada ingusku,
lalu mengusapnya lagi.

Sebagai si kecil Farhan aku menyadari,
sayang yang aku miliki kepada gelas itu
lebih dari apa yang aku miliki.
Lalu dalam diamku, aku memperhatikannya.
Tak lupa aku juga menyelipkan dalam doaku
aku yang semestinya baik-baik saja,
meski aku tahu hidupku tak lagi sempurna.

Ayah kembali, dan dia membawakanku kotak mungil nan indah
aku bertanya, 'apa ini isinya?'
'buka saja' balasnya pelan.
Tak mampu aku menanahan deras air mata,
yang menghujam pipi begitu deras.
Hingga tak lagi aku merasakan ingusku,
karena semua telah bercampur menjadi satu.
Gelas yang dulu aku sayangi dan aku jagai,
kini pulang tersisa keping-kepingan.
"ada apa ini?" teriakku bertanya
"apa yang dia perbuat? bukanlah anak kota itu merawatnya?"

Hening, itu yang mampu menggambarkan aku saat itu, Farhan

Aku mengumpulkannya, mencoba merangkainya, dan aku tersadar,
sebesar apapun usahaku, gelas ini tak akan mampu menjadi sama,
sama saat pertama Ayah memberikannya kepadaku.
Lalu Ayah berkata, "mampukah kamu kembali menjaganya?"
senyum berat menjadi jawabanku saat itu.
dengan rasa yang seutuhnya sama, namun dengan rupa yang berbeda
itulah yang Ayah mau
lalu kupeluk Ayah, dan tak tahu harus berbuat apa lagi.

Sempat terdengar lirih, gumamku,
Anak kota itu pecahkan gelasku.

Sahabatku?

Sempatkah ada dalam pikiranmu, untuk meninggalkanku saat masa-masa terberatku, sahabatku? Atau kamu justru akan merasa bangga dengan kegagalanku saat saran-saranmu tak aku hiraukan? Akankah kamu merasa menang saat melihat sahabatmu mengalami satu kegagalan dalam kehidupannya? Bahagiakah dan mampukah kamu merasa bangga atas hal itu? Aku rasa tidak sahabatku. Kamu selalu menjadi tongkat disaat langkahku menjadi gontai. Kamu menyediakan pundakmu saat kata-katamu tak mampu aku cerna. Bercanda denganmu, tertawa bersama, atau hal-hal konyol yang kita lakukan bukanlah sebuah rasa retorika semata, aku mampu meresapi maknanya.

Aku bersyukur, yang kamu katakan bukanlah penghakiman, yang kamu berikan bukanlah sebuah pamrih, yang kamu hadirkan bukanlah sebuah kesementaraan, tapi kamu mampu menghadirkan sebuah pertumbuhan. Ya, pertumbuhan bukan karena kamu sudah yang paling benar, tapi kamu mau untuk bersama kita menjadi pemain, yang merasakan menang atau kalah secara nyata dalam permainan. Bukan penonton yang bisa saja merasa menang atau kalah, tapi tak pernah tahu bagaimana rasa itu sebenarnya. Sebentar, malahan seringnya komentar yang terlontar seolah yang paling benar dan yang akan membuat tim itu menang, tapi aku rasa mereka juga perlu merasakan menjadi seorang pemain dalam lapangan. Kekalahan atau aku bisa katakan keterpurukan kehidupan menjadi satu hal yang berarti ketika aku berada di sebelahmu sahabatku. Karena olehnya aku bisa melihat, siapa yang akan terus berjuang bersama, bukan yang memaki atau menimbulkan dengki dari sudut tribun semata.

Akupun bersyukur, saat dulu kita mengawalinya dengan hal yang kurang benar, tapi kini kita mampu untuk melihatnya. Tali ikatan ini tidak mudah orang dapat mengertinya, mereka lebih sibuk membanggakan dirinya dengan kemampuan yang meraka miliki, lebih sibuk memaksakan ide-idenya di dalam kehidupan orang lain, padahal mereka sendiri bukan pemain. Eit, lalu bagaimana jika yang mereka katakan itu benar? Bagaimana jika yang mereka katakan memang akan membuat tim ini menang? Rasanya aku tak perlu memikirkannya, mau menang atau kalah, itu tak menjadi penting lagi. Lebih penting bagiku menjalani dengan sepenuh hati, dan aku percaya, kau tetap akan bersama disisi sini untuk terus berjuang bersama. Saat jatuhku, maupun saat tinggiku, kau akan terus menemani, dan terus berbagi.

Sekali lagi, terimakasih sahabatku, kau membuatku mengerti siapa yang mampu melihat bukan hanya dengan sudut egoisme semata, namun mampu menganalisanya, dengan sudut pandang yang berbeda, dan tentunya dengan bagaimana kamu belajar untuk lebih mengenaliku. Terimakasih untuk setiap doa-doamu, sahabatku.

-FF-

Tuesday, May 10, 2016

Tanda Tanya [2.05]

Untuk apa manusia itu hidup?
Untuk mati atau untuk hidup itu sendiri?
Lalu kenapa tak kau biarkan saja,
dirimu membeku, lalu kaku
di sudut kamarmu?
Membiarkan gelap serta keputus-asaan
menguasaimu, lalu mati?
Karena toh memang tubuh ini akan kembali
menjadi debu...

Matahari ada untuk kehangatan
Pelita hadir untuk sebuah pengharapan,
Sinar purnama ada untuk sebuah tuntunan,
namun kenapa kehadiranmu ada justru untuk
sebuah pertanyaan?
pertanyaan dalam sebuah wujud tanda tanya.
Tanda tanya yang mampu mengeringkan
sendu air mata lalu mengubahnya menjadi
satu luka terbuka.

Semakin melangkah demi satu arti
dari tanda tanya itu,
tak membuatku semakin mengerti
atau mungkin jawaban dari tanda tanya itu
memang tidak selau pada titik,
tapi bisa juga pada sebuah koma.

Karena ini adalah sebuah irama,
maka siapa yang berhak membuat akhir kata?
tentunya sang Pencipta, sang Alfa dan Omega.

Monday, May 2, 2016

"The Blind Side"

Mungkin mendengar judul tersebut langsung terlintas tentang satu film garapan John Lee Hancock. Film yang memang dikemas begitu apik hingga mampu membawa emosi penonton tetap terjaga dengan plot-plot yang rapi ditambah dengan akting para aktor yang sulit untuk menemukan titik kelemahannya. Meskipun ending beberapa scene dapat ditebak, namun keseluruhan begitu mengalir dan memancing. Nah loh, kok jadi membahas film sih? Bukan itu sebenarnya inti apa yang the sleeper ingin bahas kali ini, tapi tentang menilik lebih dalam dari kata yang ada pada judul film tersebut. "The Blind Side" aliran kata ini mengalir mengisi otak dengan berbagai macam spekulasi yang ada.

Mungkin bisa saja diterjemahkan seperti apa yang pada film juga mungkin ingin sampaikan, bahwa memang Tuhan menciptakan manusia dengan dua mata di depan, bukan meletakkan satu di depan dan satu lagi di belakang. Seolah Tuhan ingin mengatakan, tenang ada bagianKu yang pasti akan menjagamu, dimana kamu sendiri tak mampu untuk melihatnya.

Dengan setiap talenta dan kemampuan yang kita miliki terkadang kita terlalu nikmat untuk mengeluarkan setiap cacian tentang ketidak berhasilan mata dalam menerjemahkan fakta yang ada. Bukankah memang paling mudah adalah menyalahkan kondisi? Lalu kita juga berteriak, dimanakah keadilan? Atau coba kita bicarakan hal yang positif disini, ketika berdiri di satu titik yang cukup tinggi, bukankah bibir ini akan mudah untuk berucap, "akhirnya apa yang selama ini aku perjuangkan tergapai?" Tanpa sadar bahwa terkadang kita lupa, bahwa Tuhan itu unik,

Cara yang dilakukanNya, cara yang digunakannya, bukan lewat sebuah kejadian besar, yang mungkin dengan kedua mata ini dengan mudah kita akan mampu menerjemahkannya. Tapi, justru seringkali Dia menggunakan bagian the blind side itu sendiri, untuk memastikan kita berjalan pada koridorNya. Ya walau lewat celah yang sempit, atau berdiri di puncak yang tinggi. Tapi itulah, justru karena bagian itu adalah bagian yang tidak nampak oleh mata kita, justru bagian itulah yang paling sering untuk kita abaikan.

Ia meletakkan pribadi-pribadi yang tidak terduga berada disekitar kita, yang akan melindungi kita tetap pada koridornya, meskipun terkadang kita tidak menyadarinya, atau justru malah memakinya.

Tuesday, April 19, 2016

Labirin

Hati atau hidup itu bak labirin, semakin kamu berlari dengan emosi, semakin kamu tak sadar kemana kamu sedang pergi. Sama hal nya juga, ketika kamu melangkah tanpa berpikir dan bermain logika, jangan-jangan langkahmu sedang berpijak disatu tempat dan tak bergerak. Banyak orang yang mengartikannya dengan sederhana, tapi rasanya tidak juga melihat banyak sudut yang kadang memang menyudutkan, dan bahkan melihat ujung, yang kadang tak berujung.

Rasanya hari ini dilalui dan tak pergi kemana-mana. Seperti menikmati duduk manis di sudut labirin, mengunyah cokelat, ditemani segelas susu dan kuning mentari yang meredup dari kejauhan. Indra ini sepertinya sudah nikmat dengan apa yang ada, dengan sudut ini, dengan atap langit ini, dengan pemandangan ini, dengan setiap tikungan dan jalan lurus di sekitaran ini. Dalam benak sih mungkin terbersit pikiran untuk melihat apa yang ada di sudut sebelah sana, apa yang ada diujung jalan itu, tentang pemandangan yang ada dari atas labirin ini? Tapi angan itu tersapu, kembali oleh enaknya cokelat sore itu, oleh aliran susu yang mengalir ditenggorokkan ketika dahaga mulai menyerang, dan warna mentari yang tak bisa dibilang tidak indah juga.

Pernah sekali untuk mencoba berlari, dan tersadar bahwa tiba di suatu tempat yang tertuntun oleh emosi. Ya, tentu saja, kembali tak tahu ini ada dimana lagi. Akhirnya, membuka carrier, memotong cokelat tersisa dan menghangatkan susu kembali. Senyum tetap masih mengihasi wajah lelah ini, meskipun tetap sebenarnya hati yang maha mengetahui. Pertanyaan dimana ini dan apa yang harus dilakukan kadang menjadi retoris, karena ya memang jelas.

Meski tersadar bahwa dalam carrier ada satu Peta, dan dapat diandalkan, tapi enggan. Pernah mencoba untuk mempelajarinya dan mengikutinya, tapi hasilnya sama saja, kembali ke sudut itu lagi. Sudahlah, entah emosi, entah kenyamanan, entah keengganan yang masih membuat tetap disini. Yang jelas labirin ini jika dipikir-pikir cukup menyakitkan dan tidak sesederhana yang dipikirkan sebelumnya. Semoga Harapan tentang adanya ujung dari labirin ini tetap terjaga untuk membuat kaki ini tetap melangkah dan tidak terjebak dalam satu sudut ini saja, meskipun tahu itu susah pada aplikasinya.

Wednesday, April 13, 2016

Pemimpin

Melihat beberapa dokumenter tentang krisis Amerika 2008 membuat hati dan pikiran menjadi bergejolak. Bagaimana tidak, sebuah negera adidaya dan sebesar Amerika dapat mengalami satu krisis yang begitu menyeramkan bahkan hingga menyeret deretan negara di Eropa dan dunia. Tak sedikit nama-nama jajaran CEO perusahaan-perusahaan besar tersebut menjadi artis media masa, sebut saja salah satunya Richard "Dick" Severin Fuld. Sebagai pemimpin di Lehman Brother tentunya dia adalah salah satu orang yang paling bertanggung jawab atas kondisi perusahaannya yang pada akhirnya dinyatakan bangkrut.

Sekarang bagaimana jika perusahaan itu adalah tubuh atau diri kita sendiri? Bertanggung jawabkah kita atas kondisi yang sekarang sedang terjadi dalam kehidupan kita saat ini? Sebagai suatu insan di dalam dunia ini, tentunya kita memiliki satu idialis yang pada akhirnya akan menuntun setiap apa yang kita lakukan. Inilah yang the sleeper coba definisikan dengan memimpin diri sendiri. Selama ini mungkin kita telah sering untuk memimpin diri kita sendiri dengan berbagai-bagai macam instrumen kehidupan. Simpelnya, ketika memilih untuk beranjak dari ranjang, ketika memilih untuk membeli makan ini dan itu, ketika memilih kata dalam berucap, ketika memilih sikap dalam meresponi dan lain sebagainya. Tentunya itulah yang pada akhirnya akan menjadi tumpukan kehidupan kita saat ini, rangkaian hasil keputusan masa lampau.

Bagaimana jika saat kita memimpin diri kita ini, justru membawa pada satu kehancuran? Hah, begitu sombongkah kita, yang seolah tahu segalanya, yang seolah bisa segalanya? Lupa bahwa kita hanyalah seonggok debu yang beruntung karena Nafas Sang Pencipta yang membuat kita menjadi ada. Lalu, masihkah kita memimpin diri kita dengan segala keegoisan kita pribadi? Tanda tanya, dan jawablah pribadi. Saat menyadari bahwa karena Anugerahlah kita dapat memimpin, seharusnya akan merubah satu persepsi tentang memimpin diri kita sendiri. Hal itu lah yang pada nantinya akan tercermin, dan nampak, dari setiap buah. Ya, karena kita bertanggung jawab atas perusahaan diri kita sendiri, tentunya dengan satu persepsi bahwa perusahaan itu bukanlah milik kita, tapi sebuah Anugerah yang indah yang boleh kita jaga dalam kehidupan ini.

Tuesday, April 12, 2016

Salam Hangat

Rasanya jari ini sudah mulai kaku, sudah sulit mengenali huruf-huruf yang dulunya bersentuhan untuk merangkai kata demi kata pada blog the sleeper ini. Tapi kesulitan itu tak sebanding dengan rindu yang cukup menggebu untuk kembali menulis, merangkai kata dari setiap asa dan rasa yang mungkin selama ini telah terbiarkan terpendam oleh lantunan waktu yang pelan, tapi terus menggerus maju.

2016, sepertinya angka tersebut tidak memberikan waktu kepada the sleeper untuk sejanak duduk, menikmati dan merasakan waktu. Yang mungkin kini lebih mudah untuk dirindukan daripada dilakukan. Bumi berputar, waktu berjalan, dunia bergerak, ya semuanya bertanggung jawab atas setiap perubahan yang ada disekitar belakangan ini. Sudah tidak ada saatnya lagi untuk dapat menjalani hidup tanpa berpikir, dan memang seharusnya tidak.

Ilustrasi yang dulu pernah didengar, sekarang seolah menjadi nyata. Dimana dulu ketika kanak masih bisa bermimpi untuk terbang, bermimpi untuk memberikan perubahan, bermimpi untuk membuat mereka tersenyum lebar, tapi itu sekarang telah tergantikan. Gelap telah berhasil menggantikannya dengan keputus-asaan, ketakutan, dan keyakinan untuk tidak dapat mewujud nyatakannya. Aneh sepertinya, usia bertambah, logika meningkat, kemampuan juga jadi lebih baik dari sebelumnya, tapi justru menciutkan mimpi itu, bagai jiwa yang sudah tak berenergi lagi, ya, itu aneh.

Mungkin dimana kaki melangkah dan pikiran berpijak disitulah titik permasalahannya. Ketika berharap hikmat dari sumber yang tak tahu asal-usulnya, ya tentunya mudah saja menyesatkan. Tapi, coba jika belajar dan mencari dari sumber hikmat yang Benar, mungkin saja itu jawabannya. Jawaban atas memudarnya rasa dan asa yang dulu ada dan begitu pekat. The Sleeper mungkin perlu belajar, untuk selalu merenungkan apa yang akan dan telah dilakukannya seharian, untuk dapat kembali menyadari, bahwa tubuh ini diciptakan bukan hanya untuk berkontribusi atas kepenuhan bumi ini saja.

Salam hangat,
the sleeper.