Thursday, October 10, 2019

Ketidakmungkinan

Jurnal selalu punya peran, ia bagai bumi, yang menyimpan misteri dan history dengan begitu rapi. Catatan dan goresan kata menggambarkan bagaimana posisi hati. Tapi ada kalanya kertas kosong bukan tanpa arti, bisa jadi ketika hati sedang tak mampu diberikan definisi. Kisahnya unik, tak seperti semesta yang begitu mesra, tak seperti mentari senja yang begitu hangat.

Sedari awal semuanya sudah jelas, tak mungkin daun akan bertahan. Awal perjalanan sudah begitu gamblang, angin tak selamanya bertiup kencang. Definisi ketidakmungkinan sebenarnya menjadi satu hal yang sederhana, tapi memang, menerima hal yang berbeda tentu tak semudah menjentikan jari semata.

Biarlah kini hujan berlahan turun, memandikan bumi yang sudah begitu kering. Membasahi tanah yang sudah begitu gersang. Biarlah hujan menjadi penutup, membuyarkan setiap tetesan air mata menjadi sebuah pesta dansa. Biarlah hujan menjadi penuntun, pada satu masa dimana dunia akan terus bergerak sebagaimana semestinya.

Mental

Dunia sedang merayakan hari kesehatan mental. Tapi sebenarnya seberapa dari kita yang peduli dengan hal ini? Bukankah kita mendukung teman-teman kita yang sedang sakit fisik, entah itu hanya dalam sebuah doa? Tapi seberapa banyak dari kita yang sadar, bahwa tak adanya bedanya dengan sakit secara mental itu sendiri. Pengetahuan masa laluku jujur dengan mudah mengotakkan, bahwa sakit mental adalah aneh. Orang yang tak perlu konfirmasi, cenderung akan dihindari.

Tapi seberapa banyak dari kita yang peduli? Bahwa emosi juga mengandung energi, dan bayangkan jika hal tersebut terkikis tanpa kita paham bagaimana mengisinya? Atau ketika sedang berusaha mengisi, akan pendapatkan penghakiman karena itu tak masuk diakal.

Kita mudah mengotak-kotakkan, kita mudah membeda-bedakan, seseorang dengan sakit mental bisa banyak penyebabnya. Bisa bicara tentang genetika, atau bisa jadi karena lingkungan yang membentuknya. Dimanakah posisi berdiri kita? Melihat itu sebagai sebuah bahan candaan? atau turut mendukung proses penyembuhannya?

Thursday, March 28, 2019

Kenyataan dalam Kesemuan

Bagaimana jika semua yang kita rasakan hanyalah semu? Menjadi abu dalam hitungan detik tersapu kenyataan dan kebenaran.

Aku berjalan pelan, menyaksikan langit yang mulai berubah kemerahan. Mendengarkan deru ombak yang kian syahdu melantun pelan. Ku bersihkan seadanya sebatang pohon yang tergeletak terasingkan dihamparan pasir yang begitu luas. Duduk diatasnya, diam melihat bintang yang samar-samar mulai bermunculan.

Terasa sangat tenang, atau mungkin lebih tepat terlihat sangat tenang, tak seperti kepala yang sedang berpacu begitu kencang. Tak sedikitpun ketenangan tadi benar-benar ada dalam kepala. Dunia yang sama tapi menjadi begitu berbeda, menjadi begitu bertolakan. Satu bicara tentang tunggu, satunya berkata, ayo cepat, berlarilah. Satu berbica tentang sudahlah, lalu satunya bersuara belum saatnya. Sayup-sayup berkata, kamu ini siapa, satu membisik, kamu itu bisa.

Aku mulai dibingungkan dengan mana yang aku rasa, atau yang aku damba. Sepertinya saat ini, lebih menguat untuk berkata, aku tak suka, dan aku perlu berani menghidupinya, sepertinya.

Seketika, sapaan 'hei, ayo pulang' membuyarkan semuanya, menghitamkan semua tadi yang masih berwarna abu. Aku perlu tahu bahwa ini semua bukan mimpi, bahwa semua yang aku alami bukan sebuah ilusi, tapi adalah hidup yang penuh dengan konsekuensi. Menjadi bervisi, atau hidup sebagai pemimpi.

Wednesday, March 6, 2019

"A Beautiful Dilemma"

Dalam setiap keseruan menjalani kehidupan, manusia selalu diperhadapkan dengan yang namanya pilihan. Hal tersebut menjadi konsekuensi logis dari kesempatan-kesempatan yang Tuhan anugerahkan. Cenderungnya atau lumrahnya, sebagai seorang manusia, pertimbangan terbesar dalam memilih pilihan adalah 'aku' yang menjadi alasan terkuat dibelakangnya.

Beberapa hari yang lalu aku membaca dua post terbaru dari salah satu artist kesukaanku, siapa lagi kalau bukan Maudy Ayunda. Ia baru saja mendapatkan kabar bahwa ia diterima di dua universitas ternama di dunia, yang bahkan mayoritas manusia membayangkan untuk berkuliah disana saja sepertinya tak mampu. Dalam kebingungan yang ia tuliskan sebagai 'a beautiful dilemma' terdapat hal-hal yang perlu kita pelajari dan mungkin pahami. Pertama adalah bahwa mimpi adalah hal yang lucu, yang perlu terus kita ingat-ingat dan mengusahakannya. Lalu kedua, mimpi itu harus besar, tapi pecah menjadi langkah-langkah kecil yang tentu akan menjadi sebuah perencanaan yang mampu untuk dicapai.

Bayangkan saja mendapatkan dua pilihan yang sangat besar dan sangat berdampak untuk kedepannya. Tentu seharusnya memang menjadi hal yang 'menyenangkan' atau 'beautiful'. Tapi tak semua pribadi sebenarnya siap dengan yang namanya pilihan. Ingat bahwa pilihan bisa ada juga karena anugerah kesempatan yang telah diberikan. Namun, jika kita boleh merenungkan lebih jauh lagi, apakah kita sudah mempersiapkan diri kita untuk membuat satu pilihan yang benar?

Pilihan selalu memiliki konsekuensi, oleh karenanya memilih yang terbaik tentu menjadi salah satu pertimbangan yang memerlukan hikmat. Untuk mendapatkan hikmat, seseorang perlu mau untuk belajar. Lalu apakah selama ini kita sudah benar-benar belajar? Atau sebenarnya selama ini kita sedang menebalkan ke'aku'an dalam pembelajaran-pembelajaran yang ada. Kembali kepada diri kita masing-masing, seberapa besar kemauan dan kemampuan untuk belajar. Untuk mampu berespon terhadap kesalahan-kesalahan, untuk mampu berespon terhadap kesempatan-kesempatan. Jadi memang salah satu hal penting dalam membuat pilihan yang tepat adalah melihat diri. Bukan sekedar membuat pertanyaan tentang bagaimana aku melakukannya, tapi coba mempertajam siapa aku dan untuk apa aku menjalani hidup kedepannya. 

Dalam merenungkan hal itu tentu kita akan menemukan bahwa salah satu anugerah yang Tuhan berikan sama kepada kita semua adalah waktu. Jadi tentu waktu adalah salah satu modal terpenting dalam membuat prioritas dalam menentukan pilihan. Bukan sekedar mempertimbangkan 'aku' yang tentu bisa saja salah, tapi juga perlu menengok, apakah itu merupakan jawaban dari sebuah pertanyaan besar dalam kehidupanku?

Lalu jika sedemikian rumit dan sulitnya dalam membuat pilihan, meskipun dalam 'a beautiful dilemma' yang sebenarnya keduanya terasa manis. Kita punya sebuah tanggung jawab untuk bertanya secara langsung kepada Pribadi yang memberikan kesempatan-kesempatan itu, sehingga kelak piliah tersebut adalah pilihan yang tepat terlebih bijak.