Wednesday, December 12, 2018

Mimpi

Bagi beberapa orang, cahaya itu adalah segalanya, bagi sebagian cahaya justru sangat mengganggunya, meskipun disisi lain ada juga yang tak pernah beruntung merasakannya. Tapi sebenarnya apa itu cahaya. Aku sering kali dapat mendefinisikan cahaya ketika mengkorelasikan dengan api sebagai penyebabnya. Jadi, bagiku memang cahaya dan api adalah dua hal yang bisa jadi saling berkaitan erat. Karena api menjadi salah satu alasan kenapa kita sebagai manusia dapat melihat hasil dari kobarannya, yaitu cahaya. Aku disini memang tidak sedang mencoba menjelaskan dua hal tersebut lebih dalam secara ilmiah. Tapi kenapa aku menyampaikannya, karena hari ini ada sesuatu yang memaksaku untuk berpikir lebih dalam.

The Sleeper memiliki pendapat, bahwa manusia hanya bisa berjalan maju karena sebuah alasan, yaitu harapan. Tanpa adanya harapan, sepertinya kehidupan kita akan begitu-begitu saja. Nah, disini aku membahasakan harapan dengan sesuatu yang mungkin lebih familiar, yaitu mimpi. Tentu sebagai seorang pribadi, kita perlu mimpi untuk memaksa kaki kita tetap melangkah maju. Masalahnya, tidak setiap kita benar-benar peduli dengan potensi besar ini yang ada di dalam diri. Cenderungnya hal ini dianggap terlalu berlebihan atau hanya sekedar angan-angan semata.

Begitupun hari kita, hal-hal yang kita lihat adalah hasil dari apa yang kita perjuangkan. Mimpi itu harusnya menjadi api dalam diri kita, biarkan ia membakar setiap hal yang perlu dimotori dalam kehidupan. Sehingga baik kita maupun orang-orang disekitar kita boleh melihat cahaya yang dihasilkannya.

Pemikiran, dan refleksiku kali ini adalah, banyak dari kita yang justru memilih kalah dengan mimpinya, salah satu api yang bisa menjaga kita terus melangkah maju. Atau ada juga yang menganggap bahwa mimpi hanya sebuah ilusi penuh dengan kesia-siaan, tak akan ada hasilnya. Di sisi lain, ada juga yang mungkin terus sibuk bermimpi, tapi tak pernah berani mengusahakannya, atau bisa jadi sudah memilih kalah dengan resikonya.

Mimpiku? Biar itu tetap menjadi api, semoga membantu kaki ini terus malangkah maju, melawan ragu yang menyelimuti.
Mimpimu? . . .

Thursday, August 16, 2018

Penjajah tak Kasat Mata

Esok adalah hari jadi dari negeri tercinta, Indonesia. The Sleeper tertarik untuk mewarnainya dengan sedikit cerita dari refleksi sebagai seorang pendidik yang ada di bangsa berkembang ini. Akan genap 73 tahun Indonesia merdeka dari jenis penjajahan kasat mata yang telah dilakukan baik oleh bangsa Belanda maupun Jepang. Namun sepertinya yang namanya penjajahan jaman sekarang justru lebih banyak yang tak kasat mata, dimana itu akan jauh lebih mengerikan, dimana kita hidup di dalamnya, tapi tak pernah sadar sedang mengalaminya.

Penjajahan yang dimaksud adalah penjajahan tentang pemahaman maupun tentang pengertian ilmu pengetahuan. Tahun depan salah satu kontestasi besar negeri ini akan digelar, pemilihan presiden baru untuk menentukan nasib negeri setidaknya lima tahun kemudian. Namun hangat dan hiruk pikuk adu pilihan telah mulai tancap gas, seketika setelah nama capres dan cawapres dipublikasikan. Seolah negeri kembali menjadi dua warna, ada yang begitu getol percaya kubu kiri adalah yang terbaik, ada yang begitu yakin kubu kanan adalah titipan dari sang Ilahi. Para pendukung dan relawan bergereliya melalui akun-akun media sosial, mencoba menyampaikan apa yang menjadi pendapatnya. Tak mau kalah para petinggi dan politisi juga ikut serta mengaduk fakta dalam logika yang dimilikinya.

The Sleeper percaya bahwa pilihan pasti akan berbeda, tak mungkin kita dengan latar belakang dan pemahaman yang berbeda-beda akan sepakat begitu saja dengan apa yang sedang disajikan. Tapi inilah yang cukup mengiris pelan hati the sleeper, dimana hal yang ditakutkan adalah bukan sekedar pilihan semata, tapi tujuan dari bentuk dukungan yang diberikan. Apakah benar segalanya dilatarbelakangi rasa cinta dan peduli untuk nasib bangsa kedepannya? Atau sebenarnya justru berisi kepentingan-kepentingan pribadi atau sekelompok saja? Yang ujung-ujungnya bicara soal apa yang dibutuhkannya. 

Menilik, teori kebutuhan yang disampaikan oleh Abraham Maslow, tentang piramida kebutuhan manusia, yang saya takutkan, mereka yang sedang memperjuangkan hal-hal tadi justru hanya bergerak di ranah dasar, tentang kebutuhan fisik, atau sekedar rasa aman semata. Namun mereka lupa bahwa kebutuhan tertinggi manusia sebenarnya adalah tentang bagaimana mampu memaksimalkan talenta yang telah Tuhan titipkan di dalam pribadi kita masing-masing. Sehingga, apa yang sedang kita lakukan selama ini, memang mengarah kepada apa yang menjadi kehendakNya. 

Begitu sedih dan cukup prihatin memperhatikan suasana ini, the sleeper memilih untuk menggelitik para peserta didik, tentang apa yang sebenarnya Tuhan mau dalam kehidupannya, melalui pembelajaran tentang ketenagakerjaan. Banyak yang memiliki pemahaman, bahwa bekerja adalah bentuk kewajiban agar mampu bertahan hidup, memenuhi kebutuhan dengan uang yang mampu dihasilkannya, atau menyampaikan sedikit mulia, hendak menolong sesama manusia, tapi harus menunggu uang menumpuk agar memiliki dampak yang lebih masif lagi. Benarkah demikian? Menengok teori kebutuhan yang tadi telah disampaikan, yang ditakutkan, mereka justru nantinya akan kembali terjerumus kedalam satu jurang pemahaman, bahwa bekerja adalah tujuan menjadi kaya, sebelum mereka mampu mendefinisikan apa itu arti dari kaya. 

Oleh karenanya, keluar dari penjajahan tak kasat mata, merupakan PR besar negeri ini. Bagaimana kita semua sebagai warganya, tentu berpereran penting dalam usaha memberantasnya. Bukankah memang sebenarnya bendera kita juga terdiri dari dua warna, namun kenapa kita selama ini mampu begitu menghargainya? (atau bisa jadi justru biasa saja?) Jadi jika pada nantinya kita tak memiliki agenda-agenda pribadi yang berisi penuh egoisme semata, dan kita sebagai umat manusia mampu mengisi hari-hari kita dengan memenuhi kebutuhan kita yang paling tinggi, yaitu aktualisasi diri, the sleeper punya harapan, perbedaan bukan menjadi ajang memecah belah, namun justru menjadi cerita dan warna, bahwa keunikan bangsa ini terletak pada kesatuannya, bukan pada persamaannya.

Monday, July 2, 2018

Menjadi Pribadi Minor

Sepulang menikmati indah senja disalah satu ujung pulau jawa, kami kembali. Tak menarik the sleeper menceritakan hal itu sekarang, the sleeper tertarik dengan salah satu iklan rokok yang yang terpasang besar dan begitu jelas di salah satu sudut kota Jogja. Kira-kira bunyinya "nanti kau juga akan mengerti bahasaku". Hal ini seolah sedang mengkritisi dan mem-persuasi para pembacanya untuk berekspresi sesuai dengan nurani pribadi. Namun dipikir-pikir bukan tentang salah atau benar iklan tadi. Bicara soal bahasa, memang sesuatu hal yang begitu kompleks, dan tak sesederhana ketika kita mengucapkannya sembarang saja.

Apakah benar the sleeper lebih dikenal sebagai tulisan-tulisan bernada minor, yang memuat tentang kesedihan? Apakah benar mengekspresikan hal-hal minor lebih mudah diterima oleh semesta? Entahlah, namun mungkin ini sistem dunia berkembang. Cerita minor dan nada-nada kesedihan membuat pendengar ikut berimpati. Rasa empati mengandung logika bahwa sang pemilik 'pernah' atau ikut merasakan hal yang sama, hal ini tentunya sedikit memiliki kandungan logika bahwa ia artinya telah sedikit lebih baik dari sang pembuat cerita minor tadi. Ini yang menjadi bahaya, bahwa manusia akan jauh lebih lega ketika sesama ada dibawahnya, bukan setara, apalagi berada diatasnya.

Tentu saja bukan demikian seharusnya roda dunia berputar. Tapi nyatanya masih banyak yang alergi mendengar cerita-cerita bernada bahagia, karena didalamnya memang cenderung mengandung banyak unsur egoisme semata. Lalu bagaimana seharusnya seseorang berekspresi? Ia hanya akan baik ketika ia menjadi orang yang dunia tahu dan kenal tentangnya. Mungkin memang the sleeper perlu untuk banyak belajar bagaimana harus menulis merangkai hal abstract yang dapat dimengerti oleh semesta. Atau malah sebaliknya? Mengikuti egoisme liar yang tak peduli tentang fakta tanggapan dunia?

Saturday, June 30, 2018

Daun Tak Pernah Membenci Angin yang Membawanya Terbang.

Cerita ini telah tersebar luas menjadi seperti cerita turun temurun dari para nenek moyang yang penulis aslinya pun aku tak pernah tahu. Kehidupan tak bisa dipersempit dalam logiga daun, angin maupun pohon. Ketiganya hanya mencoba menggambarkan sesuatu yang begitu besar, yang begitu abstract sehingga orang sulit dalam mendefinisikan dan menceritakannya. Oleh karenanya manusia cenderung mendistorsi makna demi, setidaknya tercapai sedikit maksud yang ingin dibahasakan.

Dunia dan kehidupan berlomba selalu membuat tanda tanya, baik untuk sang daun, yang memilih tinggal atau pergi, buat sang angin yang memilih bertiup atau tenang, atau untuk sang pohon yang diam menua bertahan dari segala terpaan. Setiap tanya menuntut keputusan, dan setiap keputusan menuntut harga yang harus dibayar, konsekuensi. Apapun yang diputuskan oleh siapapun menuntut sebuah konsekuensi yang harus dibayar oleh pihak-pihak yang membuatnya, bahkan terkadang harus dirasakan oleh pihak-pihak yang bersinggungan. 

The sleeper bukan angin, bukan daun, dan bukan pohon, the sleeper ketiganya, the sleeper bukan ketiganya juga pada waktu yang bersamaan. Tak ada analogi yang mampu menggambarkan secara utuh. Jawaban atas tanya selalu berujung pada keputusan, keputusan untuk bahagia atau sebaliknya. Namun the sleeper punya sedikit pesan, bahwa keputusan haruslah bulat hasil dari pemikiran dan kedamaian. Pemikiran mewakili logika, dan kedamaian mewakili perasaan. Sedih dan bahagia hanya bicara soal waktu, dulu dan nanti akan terus menjadi saksi untuk setiap pilihan dan keputusan kehidupan yang terus dan konsisten kita pilih.

Kau adalah pribadi, keluarlah, terbanglah.

Sunday, May 27, 2018

Dunia dibalik Kata-kata

Pernahkah kita membayangkan sebuah dunia tanpa kata? Sebuah komunitas tanpa bicara? Sebuah hidup tanpa makna? Sebuah kenangan tanpa cerita? Sebuah perjalanan tanpa tanya? Ya, sepertinya akan sangat sulit the sleeper memikirkan hal itu. Belakangan justru terngiang bahwa saat ini dunia telah penuh sesak dengan kata. Banyak orang yang meminta unjuk untuk bicara, memaksa sebuah cerita tanpa memprosesnya dengan tanya untuk mendapat sebuah makna.

Semakin rumit dan semakin terlihat abstract seperti paragraf sebelumnya, sepertinya demikian sekarang sistem dunia cenderung bekerja. Orang lebih sibuk memermak hal-hal yang seharusnya tampil apa adanya. Membuat kata sederhana menjadi sesuatu yang begitu mahal dan langka. Bayangkan saja, untuk berbicara kata sedih, mungkin seseorang harus memutar otaknya, mencari frasa-frasa untuk mempolesnya agar dirinya tak dianggap lemah. Atau untuk berbicara tentang bahagia, justru lebih sibuk mencari kalimat-kalimat estetika, agar dirinya tak terlihat sombong.

Lalu bagaimana cara kita bercakap dengan kata yang sederhana beserta makna yang selalu ada didalamnya? Susah. Kita lebih suka membuat dinding kata-kata untuk menutupi apa yang ada dibaliknya. Maaf, mungkin bukan kita, aku hanya merefleksikan diriku dan dunia sekitarku. Jika demikian, jangan sepelekan kata-kata. Kemampuan yang dimilikinya tak pernah terkira. Orang dapat selamat karena kata, atau sebaliknya mungkin juga dia dapat berujung celaka.

Setidaknya aku sekarang ingin belajar bagaimana menggunakan kata-kata dengan apa adanya, bukan merumitkan hal-hal yang sederhana. Karena kata-kata mengalir melalui cerita, diawali tanda tanya, yang berakhir dengan pemahaman sebuah makna. Jadi biarlah dunia itu sama dengan kata, bukan justru bersembunyi dibaliknya.

Saturday, May 5, 2018

Peluklah, Dekaplah lebih Erat, Terimalah

Tak terpikirkan sudah berapa sunrise yang aku lewati dalam kehidupan ini, dan seberapa banyak yang berlalu begitu saja tanpa aku mampu memaknai, maupun menikmati. Bahkan tak perlu bicara sepanjang kehidupan ini, bayangkan saja tahun ini, tahun yang baru berjalan 4 bulan saja, berapa ratio aku mampu menjalani pagi dengan syukur atau setidaknya berusaha menyeruak mencari arti dari hari-hari yang akan aku lalui lagi dan lagi.

Kali ini the sleeper ingin bercerita tentang teman lama yang telah setia menemani perjuangan dan perjalanan selama ini, namanya Black Orchid, iya dia bukan seekor ikan hias, tapi dia selalu juara dalam mendorong setiap usaha yang dulu aku sering perjuangkan. Kenapa aku menggunakan kata dulu, karena sudah 2 tahun belakangan ini ia sakit-sakitan, bahkan matanya pernah tak mampu melihat hampir sekitar 6 bulan. Lalu jantungnya sudah tak lagi mampu memompa darah yang mengandung oksigen ke seluruh penjuru dari tubuh yang membutuhkan. Nafasnya sudah berat, sering tersenggal. Langkahnya sudah gontai, meskipun ia masih terus dan terus setia, berjuang di dalam keterbatasannya mendukungku, memperjuangkanku, tidak membiarkanku mati kutu. Betapa banyak pengorbanan yang telah ia berikan, selama 8 tahun belakangan ini, sudah terlalu banyak hal yang ia saksikan dalam langkah-langkah kehidupan yang aku ambil, baik yang membanggakan, maupun yang mengecewakan.

Dan persahabatan buatku tidak terbatas pada perpisahan, tapi justru akan selamanya, mengingat yang namanya kenangan maupun cerita yang telah terjadi tak mungkin bisa terhapus begitu saja. Meskipun kini aku telah ditemani teman yang baru, panggil saja ia Grey Shark. Namun ini justru tetap akan menjadi ceritaku dengan Black Orchid, terbungkus rapi lalu aku letakkan di sudut hati. Grey Shark memang masih belia, ceria, tak banyak bicara, tapi begitu bekerja, aku yang awalnya tak terlalu banyak berharap, ternganga seketika, mengingat ini juga sebuah anugerah dari Semesta, dimana Ia ijinkan aku tetap bisa didukung kembali oleh teman baru.

Sudah tak ada lagi marah, tak ada lagi kecewa, tak ada lagi bercanda bersama dengan Black Orchid. Tapi aku memilih untuk memeluk kenangan itu erat-erat, bukan karena banyaknya kenangan baik atau buruk didalamnya, tapi justru yang namanya lalu tak mungkin kita sanggup melawannya, cukup peluk, dekap lebih erat dan terima. Ia akan menjadi tanda serta pengingat yang baik dalam mengambil keputusan kedepannya nanti. Selamat datang Grey Shark, aku siap kau melengkapi puzzle dari Black Orchid yang belum usai dalam kehidupanku. Hariku bersamamu masih panjang, please be nice.

Saturday, March 24, 2018

Bumi

Sedang ramai sepertinya orang-orang menuju  ke Murmansk
mencicipi sensasi aurora ala perang dunia kedua.
Mungkin juga mereka berebut menuju ke Paris,
berpesta pora menikmati kota penuh romansa.
Atau bisa jadi justru memilih bersantai di Brussel, sembari menikmati segelas cokelat panas.

Aku terdiam, menatap matahari yang sedang berlahan kembali ke peristirahatan.
Mengamati merpati yang begitu bergembira terbang mengantar senja.
Menatap langit yang berlahan berubah warna, menorehkan gradasi tentang cinta, logika dan realita.
Bermain kerikil, mengambilnya, melemparnya jauh ke danau, sekumpulan genangan air di pinggiran himpitan pegunungan baja dan kaca.

Tak banyak yang mampu aku lakukan, berbeda dengan yang aku pikirkan.
Berkecamuk dalam dan liar, tentang apa itu harapan yang sering paradoks dengan perjuangan.

Tak banyak yang mampu aku katakan, berbeda dengan yang aku tuliskan.
Terlalu frontal, terlalu retorik, dan kadang juga munafik.

Aku tak butuh Murmansk, tak juga Paris, apalagi Brussel,
tidak perlu sensasi, tak perlu romansa dan juga tak perlu sebuah kenikmatan belaka.
Aku memilih untuk berani saat ini,
memilih untuk tak kabur dengan sebuah gradasi,
memilih untuk tidak ragu dengan himpitan keadaan.

Sinar rembulan yang berlahan datang, menyapa pelan dalam gelap raguku,
berusaha menumbuhkan rasa yang tak sadar aku membuatnya mati.
Memberi harapan dalam keputus-asaan.
Meski akhirnya aku dipaksa untuk mengerti,
Jika suatu saat nanti, selama matahari masih menyinari
bumi akan terus berevolusi.


Thursday, February 15, 2018

Irama Kini atau Nanti

Tak ada hal yang lebih memilukan dibanding garam yang tak lagi asin. Tak ada kisah yang lebih menyedihkan dibanding daun yang tergeletak lemas tak berdaya tersapu angin dari sang dahan. Tak ada yang lebih membingungkan untuk melihat 2 sisi mata koin secara waktu yang bersamaan.

Orang bertanya-tanya tentang tujuan tentang masa depan. Orang sibuk saling mengejar kenyamanan nanti dan mengorbankan saat ini. Orang menjual diri untuk pengakuan, untuk pernyataan awal bukan sebuah kesimpulan. Orang akan susah makan jika tak menjadi serupa atau setidaknya tidak berbeda. Lalu kemunafikan menjadi hal yang biasa, seolah sudah menjadi sebuah irama, merasionalkan untuk menerimanya saja.

Rasio kehidupan seolah sedang disempitkan dan disederhanakan dalam sebuah panggung hiburan. Dimana esensi tak menjadi apa, asal sensasi berkesan untuk semesta. Pengertian tak menjadi hal yang utama, selama semua bisa menarik emosi, entah tentang tangis, atau tawa. Atau hal-hal akan jauh lebih menarik jika bukan bicara tentang visi atau prestasi, justru sekedar tentang citra atau retorika.

Angin akan selalu mengalir dari tekanan tinggi ke tekanan yang lebih rendah. Lalu air akan terus mencoba menuju peristirahatannya. Dunia juga akan terus berputar, tergantung daun akan tergerus derasnya perubahan atau memilih memilih menjadi racun untuk dirinya sendiri.

Wednesday, February 7, 2018

4 Kisah

Sepertinya the sleeper harus skip beberapa PR tulisanku yang sebenarnya sudah dipersiapkan untuk di post, untuk menutup 2017 dan menggantinya dengan 2018. Ada satu hal yang malam ini bener-bener menampar the sleeper secara halus namun begitu berbekas, begitu berasa. Gie pernah berkata, jangan sekali-sekali menjadi munafik, dan tak apa untuk diasingkan, asal jangan kau jangan sekali-sekali menjadi seorang pembohong yang fatal, karena berbohong ke diri sendiri. Tapi secara tidak sadar, sepertinya itu justru yang sedang terjadi dalam perjalanan kehidupan the sleeper. Berjalan terlalu aman, sehingga begitu sombong untuk mau mewujudkan ide-ide dan impiannya. Terlalu naif mengembangkan pemikiran dan harapannya, tanpa mau merendahkan diri untuk berani mewujudnyatakan.

Mungkin kali ini the sleeper ingin bercerita tentang 4 kisah, pertama, the sleeper pernah bertemu dengan satu batuan lava, yang begitu mempesona, begitu bercahaya, dan sepertinya hampir semua orang-orang memujanya. Seandainya saja the sleeper bisa membawanya pulang, menjadikannya objek utama di aquascape yang ada. Tapi the sleeper harus tahu juga, bahwa batu ini juga begitu tajam, endapan dari letusan gunung purba kala itu membuatnya bisa merobek objek-objek yang berusaha bermain dengannya tanpa mau untuk memahami bagian-bagian mana saja yang bisa disentuh. Tapi the sleeper belajar, bahwa dia bisa seperti dia saat ini karena telah mengalami dua hal yang sangat membentuk, yaitu waktu dan tekanan. Dimana hal tersebut sudah semestinya dimanfaatkan dengan baik oleh batu lava ini. Di sisi lain, terkadang the sleeper juga tercengang, bahwa dia juga begitu fragile dibalik hal-hal mempesona yang ada pada dirinya.

Kedua, the sleeper mengenal seekor ikan salmon yang begitu unik, ya kita pasti tahu yang namanya ikan salmon pasti akan berenang melawan arus, melompat, berenang, melawan dan menghadapi tantangan tertangkap oleh beruang. Namun, salmon ini berbeda, dia tidak hanya sekedar melawan arah seperti yang teman-temannya lakukan, dia justru berenang menuju dunia yang benar-benar dia inginkan, meskipun terlihat aneh, dia berenang menuju kecabang sungai, berenang dimana air disana tak terlalu bersih, dengan arus yang cukup keras, sehingga tak banyak ikan yang memilih untuk berenang di sungai tersebut.

Ketiga, the sleeper mengenal sebuah putik bunga yang begitu wangi dan indah untuk di pandang. Namun putik ini berjuang sedemikian rupa, melawan naturnya, dia ingin menjadi bunga itu sendiri. Dia meronta, dia merintih, berusaha keras agar orang tak melihatnya sebagai putik, tapi bunga itu sendiri. Usahanya tak sia-sia, putik ini sangat menawan, sangat mempesona, sehingga tak ada serbuk sari yang menempel di bagiannya, karena begitu licinnya permukaan dan pertahanan yang dibuatnya untuk terlihat seperti bunga. Sehingga karena alam bawah sadarnya itu, ia lupa bagaimana untuk menjadi putik seharusnya.

Kisah keempat, kisah tentang daun yang memilih terbang bersama angin, yang dia mempertaruhkan harapannya, terbang tinggi atau terjatuh, tergeletak lalu mati.

Aneh saja, pemikiran-pemikiran ini bermunculan disaat logika terus menggerus, dan menjadikan the sleeper yang berjalan berdasarkan ketakutan, bukan kasih atau kebahagiaan yang seharusnya menjadi dasar. :)