Thursday, August 17, 2017

Angin tidak pernah memaksa Daun untuk Terbang

Sore itu aku tutup hari dengan menikmati hangat mentari, merasakan sinarnya yang berusaha menembus rindang dedaunan pohon. Lalu aku memutuskan beranjak dari perenungan singkat, menaiki motor tua yang sudah sejak tujuh tahun lalu menemani berkelana, mengetuk setiap pintu, berharap ada kebaikan pemilik untuk mengijinkan raga ini singgah sejenak, tentu, untuk melepas lelah berkendara panjang. Sungguh sore yang begitu sopan, tak ada lalu-lalang kendaraan besar yang memenuhi jalanan. Sungguh sore hingga petang yang akan begitu panjang, dimana mata itu menatap cukup dalam, menyampaikan satu dua kata yang sulit untuk diartikan.

Aroma tanah yang terhirup begitu lembut, setelah seharian panjang diguyur oleh tangisan alam menghentikan laju. Motor sudah diparkirkan, dan langkah ini berjalan mencari beberapa barang yang yang memang akan diperlukan untuk beberapa waktu kedepan. Ini namanya pasar, dunia hiburan, dimana ada begitu banyak pedagang yang mengadukan nasibnya dengan memajang beberapa barang, berharap ada beberapa orang sepertiku yang tergoda untuk menawarnya lalu membungkusnya membawa pulang. Tapi jujur aku sebenarnya tak begitu tertarik bahkan sama sekali tak tergoda dengan segala rayunya, jika saja aku tak benar-benar membutuhkan apa yang harus kucari, tentu aku lebih memilih duduk, membiarkan wajahku diusap hangat oleh mentari sore itu.

Lalu, siapa yang menyangka, jika malas dan raguku, seketika membuatku kaku, dikala samar-samar aku merasa mendengar ada yang sedang berucap. Bukan, dia tidak berucap dengan tuturnya, aku mendengar dari tatapannya. Konsentrasikupun buyar, dimana list barang-barang yang harusnya aku dapatkan seketika menguap, melayang hilang ditelan teka-teki dari kata-kata yang hendak disampaikannya.

Aku tak mau untuk terbang, aku tak mau untuk bergerak atau melangkah, bukan karena aku tak mau, tapi angin tak pernah memaksa daun untuk terbang, angin hanya berusaha menyapanya saja.


(Terinspirasi sebuah novel Tere Liye)

Friday, August 11, 2017

Agustus, Merdeka dan Retorika

Angka yang boleh tertampilkan kini sudah berpindah ke nomor 8. Sudah semakin tergerus rintik yang dulu sering membasahi bumi ini, tergantikan dengan matahari yang berlahan meninggalkan sisi utara menuju ke khatulistiwa lalu berlabuh di ufuk selatan bulan nanti. Negeriku akan berpesta pora kali ini, 72 tahun berjuang sebagai sebuah bangsa yang mandiri, ya sebentar lagi akan genap, 72 tahun. Momen ini sering dikenal dengan istilah perayaan Kemerdekaan. Sedikit salam dari seorang yang hobi menghabiskan waktu dengan tidurnya, selamat ulang tahun negeri tercinta, dari the sleeper.

Kali ini pemikiran semakin liar, mencoba mencari celah dan arti dari kata merdeka itu sendiri. Jika boleh sedikit menilik waktu kala itu, sangat terpatri jelas setiap kata-kata yang guru-guru boleh ucapkan, bahwa saat itu pagi-pagi sudah dipersiapkan sebuah upacara dimana akan diplokamirkan sebagai sebuah hari kemenangan oleh salah satu orang hebat pendiri bangsa ini, yaitu Soekarno. "Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. . . . ." jika mendengarnya secara langsung memang sangat menggentarkan momen-momen pembacaan tersebut. Setelah itulah negeriku dengan bangga boleh mengatakan bahwa telah Merdeka.

Lalu benarkah negeriku ini sudah merdeka? Jika pengertian dari kemerdekaan dari KBBI sendiri adalah keadaan (hal) berdiri sendiri (bebas, lepas, tidak terjajah lagi, dan sebagainya). Benarkah demikian? Tapi jujur, entah ramuan apa yang telah Indonesia berikan, rasanya cinta selalu menang melawan kecewa, dimana sekarang kami sebagai rakyat lebih sering memilih untuk melukai dibanding menjaganya maupun menghargai. 

Sudahlah, bukan kapasitas the sleeper bicara mengenai kondisi-kondisi tersebut, the sleeper lebih tergelitik menilik apakah sudahkah pribadi ini mengalami yang namanya kemerdekaan itu sendiri? Atau masihkah memilih untuk terikat dengan hal-hal yang menghantui? Tabrakan antara kenyataan dengan harapan sering menyisakan tanya yang berujung pada luka.

Mungkin seringnya kesombongan menutupi nurani, sehingga lama-lama yang dikenal dengan istilah peka berlahan mati. Namun jika boleh sedikit meminjam status merdeka tadi, rasanya ingin menyampaikan suatu pesan, bahwa ketika memaksakkan senyuman dalam ratapan adalah hal yang cukup menyakitkan dan melelahkan.

Tapi kini, the sleeper memilih untuk menyiapkan teks proklamasi, menyiapkan kabinet, karena sebuah negeri tak mungkin berdiri di atas kaki satu orang saja. Meskipun dengan penuh kesadaran mengerti bahwa merdekapun tak menjamin bahwa seseorang akan bebas dari perjuangan. Negeri seberang akan selalu berusaha memperkosa harta yang kita miliki. Semoga angin membantu laju kapal ini untuk segera berlabuh, agar kiranya pengertian merdeka tak menjadi retorika, agar kiranya perjuangan itu sungguh nyata, untuk sesuatu yang orang tuju, kekekalan.