Saturday, November 23, 2013

"You are the Best or MORE than the Best"

Baru-baru ini the sleeper menemukan sebuah blog yang berisi pidato wisudawan terbaik di salah satu SMA di Amerika Serikat. Namanya adalah Erica Goldson, namun yang mau the sleeper soroti bukan tentang kita harus menjadi yang terbaik seperti dia, namun jika pembaca membaca apa yang dia katakan maka kaliaan akan mengerti. Karena kita terbiasa hanya mendengar ucapan rasa bangga atau sekedar ucapan syukur saat mendengarkan seorang wisudawan terbaik memberikan pidatonya, bahkan di tingkat universitas. Namun Erica memiliki pemikiran yang mampu mengganggu dan mempengaruhi pemikiran the sleeper belakangan inil. Jika pembaca ingin membaca isi pidatonya secara keseluruhan dalam versi inggris, kalian hanya perlu mengunjungi link ini (americaviaerica.blogspot.com).

Sebenarnya tanpa sengaja the sleeper juga menemukan cuplikan pidatonya yang telah diterjemahkan, berikut silahkan pembaca baca dengan baik-baik, pahamai setiap arti dari perkataannya.

Saya lulus. Seharusnya saya menganggapnya sebagai sebuah pengalaman yang menyenangkan, terutama karena saya adalah lulusan terbaik di kelas saya. Namun, setelah direnungkan, saya tidak bisa mengatakan kalau saya memang lebih pintar dibandingkan dengan teman-teman saya. Yang bisa saya katakan adalah kalau saya memang adalah yang terbaik dalam melakukan apa yang diperintahkan kepada saya dan juga dalam hal mengikuti sistem yang ada.

Di sini saya berdiri, dan seharusnya bangga bahwa saya telah selesai mengikuti periode indoktrinasi ini. Saya akan pergi musim dingin ini dan menuju tahap berikut yang diharapkan kepada saya, setelah mendapatkan sebuah dokumen kertas yang mensertifikasikan bahwa saya telah sanggup bekerja.

Tetapi saya adalah seorang manusia, seorang pemikir, pencari pengalaman hidup – bukan pekerja. Pekerja adalah orang yang terjebak dalam pengulangan, seorang budak di dalam sistem yang mengurung dirinya. Sekarang, saya telah berhasil menunjukkan kalau saya adalah budak terpintar. Saya melakukan apa yang disuruh kepadaku secara ekstrim baik. Di saat orang lain duduk melamun di kelas dan kemudian menjadi seniman yang hebat, saya duduk di dalam kelas rajin membuat catatan dan menjadi pengikut ujian yang terhebat.

Saat anak-anak lain masuk ke kelas lupa mengerjakan PR mereka karena asyik membaca hobi-hobi mereka, saya sendiri tidak pernah lalai mengerjakan PR saya. Saat yang lain menciptakan musik dan lirik, saya justru mengambil ekstra SKS, walaupun saya tidak membutuhkan itu. Jadi, saya penasaran, apakah benar saya ingin menjadi lulusan terbaik? Tentu, saya pantas menerimanya, saya telah bekerja keras untuk mendapatkannya, tetapi apa yang akan saya terima nantinya? Saat saya meninggalkan institusi pendidikan, akankah saya menjadi sukses atau saya akan tersesat dalam kehidupan saya?

Saya tidak tahu apa yang saya inginkan dalam hidup ini. Saya tidak memiliki hobi, karena semua mata pelajaran hanyalah sebuah pekerjaan untuk belajar, dan saya lulus dengan nilai terbaik di setiap subjek hanya demi untuk lulus, bukan untuk belajar. Dan jujur saja, sekarang saya mulai ketakutan.......” sumber: (http://pohonbodhi.blogspot.com)

Setelah membacanya, kira-kira apa yang ada dipikiran kalian? Khususnya untuk mahasiswa-mahasiswa yang satu fakultas dengan saya? Apakah kalian akan terus membiarkan capaian prestasi kalian di bidang akademik mengorbankan kesempatan kalian belajar mengenai tentang nilai-nilai hakiki seperti persahaban, kekeluargaan, kebahagiaan, hobi kalian? Membiarkan SOW kalian menjadi tuhan kalian yang akhirnya membuat kalian tidak memiliki hati untuk menyediakan waktu mendukung teman-teman kalian yang sedang berjuang untuk almamater kalian juga? Ayo, kita harus bijak, kalian juga jangan membacanya dengan pandangan ekstrim yang berarti kalian tidak perlu berusaha di bagian akademik. Intinya, kita jangan cuma jadi yang terbaik, kita harus menjadi yang lebih baik dari yang terbaik.

Kota tanpa Suara

Akhirnya, ngga terasa udah hampir beberapa hari, bahkan minggu ngga update di halaman ini, dan sekarang untung ada waktu buat aku nulis tentang apa yang telah terjadi, dan telah aku alami selama 4 bulan kebelakang. Menyambung dari post sebelumnya, sebenernya aku juga masih bingung apa yang aku harus tulis dari semuanya yang telah terjadi selama aku menginjakkan kaki di sebuah kota pertengahan Sumatera.

Awal bulan Juli, aku beserta kelima temanku diutus untuk melakukan praktik terakhir disana. Berangkat tergesa-gesa di temani rintik hujan subuh itu tetap menjadi salah satu pengalaman yang takkan terlupakan, terlebih dua sahabat kesayangan mengantarkan serasa tak ingin kita terpisahkan. Disamping itu crowded bandara Soekarno Hatta pagi itu sungguh menambah daya gedor agrenalin kita. Merasa sangat terburu-buru dan panik. Entah apa yang kita takutkan, yang teringat jelas adalah kita sedang terhimpit oleh sempitnya waktu yang terpampang di Fossil dual time pemberian ibuku tercinta.

Singkat cerita sebuah pelukan memisahkan aku dengan kedua sahabatku tersebut, mengantarkan aku beserta kelima rekan tim ku memasuki boarding pass untuk segera masuk ke Lion Air yang terlihat sudah siap memberangkatkan dirinya. "Yap, semua telah beres, tinggal sedikit menunggu waktu dan sembari matahari menampakkan dirinya, kita akan melihat semuah kota dimana kita akan tinggal disana selama 5 bulan nanti", batin ku serasa berbicara dengan rekan-rekan timku.

Friday, November 15, 2013

The Day without Dream

Ngga terasa udah 4 hari aku menapakkan kaki di kampus UPH lagi. Badan ku memang ada di sini, tapi pikiranku masih saja terus melayang, mengenang masa-masa saat aku masih berada di sebuah kota yang tepat berada di pertengahan Sumatera - Jambi. Sebuah kota yang hanya dalam kurun waktu kurang lebih 4 bulan telah berhasil menorehkan banyak kenangan maupun impian. Sekarang itu semua benar-benar seperti hanya mimpi, saatnya kembali ke realita awal, dorm, kampus, fj, chapel, dan itu-itu lagi.

Merindukan, iya, sejujurnya aku merindukan kota kecil itu yang berhasil merebut hatiku, berhasil memeras pikiranku. Bau karetnya, kacau lalu-lintasnya, buruk pelayanannya, mahal makanannya, dan lain sebagainya, tapi aku sangat merindukannya. Entahlah, apa yang membuatnya berhasil merenggut hati pikiran ini, yang jelas pikiranku masih melayang, pada kota yang mengenalkanku sebuah makanan yang sangat enak bagi lidahku ini.

Banyak cerita yang sebenarnya ingin aku tuliskan, tapi aku masih belum bisa, belum bisa membahasakan setiap perasaan yang aku rasakan. Mungkin ini terlalu indah, mungkin ini terlalu menyakitkan, mungkin ini terlalu membingungkan. Yang pastinya, ada sebuah sekolah kecil di tengah kota yang membuatku semakin merindukan kota itu, ya SKBK, suatu kelak nanti, jika aku akan ke Kerinci, aku akan menemuimu terlebih dahulu, akan aku sapa, seperti kamu menyapaku saat itu.

salam,
the sleeper.