Thursday, June 23, 2016

Anak Kota itu Pecahkan Gelasku

Farhan, ya panggillah aku Farhan
Bocah pinggiran yang tak tahu apa-apa
yang hidup dari tiupan angan
tertangkap oleh senja, maupun petang.
Sesekali aku perlu mengusap ingusku,
mengalir deras bak terpaan masalah
dalam hidup ini,
tak mampu berhenti mengalir.

Lalu keajaiban datang,
Sang Ayah memberiku sebuah gelas yang begitu menawan
cantik aku memandangnya.
Tapi siapalah aku, bocah yang tak tahu apa-apa
yang hanya tahu bagaimana bermandi lumpur,
yang hanya mampu bermain gundu
Begitu aku ingin menjaga gelas itu,
kadang tak sadar aku menyembunyikannya dalam tumpukan jerami,
biar tak ada orang mampu mencurinya,
tapi kepolosanku itulah yang kadang membuat goresan
goresan dalam keindahan gelas itu, maafkan.
Atau kadang aku mengusapnya dengan kekawatiran
bahwa gelas itu akan kotor jika tak aku bersihkan,
sayang, aku sering mengusap dengan tangan kasarku,
yang lagi-lagi justru melukai kilauan gelas itu, maafkan.
Lalu kembalilah, siapa aku Farhan,
sebatang bocah ingusan.

Dan anak kota itu, datang dengan sebuah penawaran.
Tentu sangat menjanjikan,
lemari kaca, pembersih berbahan lembut, pengkilap,
dan jutaan lainnya,
yang membuatku hanya mampu teringat pada ingusku,
lalu mengusapnya lagi.

Sebagai si kecil Farhan aku menyadari,
sayang yang aku miliki kepada gelas itu
lebih dari apa yang aku miliki.
Lalu dalam diamku, aku memperhatikannya.
Tak lupa aku juga menyelipkan dalam doaku
aku yang semestinya baik-baik saja,
meski aku tahu hidupku tak lagi sempurna.

Ayah kembali, dan dia membawakanku kotak mungil nan indah
aku bertanya, 'apa ini isinya?'
'buka saja' balasnya pelan.
Tak mampu aku menanahan deras air mata,
yang menghujam pipi begitu deras.
Hingga tak lagi aku merasakan ingusku,
karena semua telah bercampur menjadi satu.
Gelas yang dulu aku sayangi dan aku jagai,
kini pulang tersisa keping-kepingan.
"ada apa ini?" teriakku bertanya
"apa yang dia perbuat? bukanlah anak kota itu merawatnya?"

Hening, itu yang mampu menggambarkan aku saat itu, Farhan

Aku mengumpulkannya, mencoba merangkainya, dan aku tersadar,
sebesar apapun usahaku, gelas ini tak akan mampu menjadi sama,
sama saat pertama Ayah memberikannya kepadaku.
Lalu Ayah berkata, "mampukah kamu kembali menjaganya?"
senyum berat menjadi jawabanku saat itu.
dengan rasa yang seutuhnya sama, namun dengan rupa yang berbeda
itulah yang Ayah mau
lalu kupeluk Ayah, dan tak tahu harus berbuat apa lagi.

Sempat terdengar lirih, gumamku,
Anak kota itu pecahkan gelasku.

No comments:

Post a Comment