Thursday, August 16, 2018

Penjajah tak Kasat Mata

Esok adalah hari jadi dari negeri tercinta, Indonesia. The Sleeper tertarik untuk mewarnainya dengan sedikit cerita dari refleksi sebagai seorang pendidik yang ada di bangsa berkembang ini. Akan genap 73 tahun Indonesia merdeka dari jenis penjajahan kasat mata yang telah dilakukan baik oleh bangsa Belanda maupun Jepang. Namun sepertinya yang namanya penjajahan jaman sekarang justru lebih banyak yang tak kasat mata, dimana itu akan jauh lebih mengerikan, dimana kita hidup di dalamnya, tapi tak pernah sadar sedang mengalaminya.

Penjajahan yang dimaksud adalah penjajahan tentang pemahaman maupun tentang pengertian ilmu pengetahuan. Tahun depan salah satu kontestasi besar negeri ini akan digelar, pemilihan presiden baru untuk menentukan nasib negeri setidaknya lima tahun kemudian. Namun hangat dan hiruk pikuk adu pilihan telah mulai tancap gas, seketika setelah nama capres dan cawapres dipublikasikan. Seolah negeri kembali menjadi dua warna, ada yang begitu getol percaya kubu kiri adalah yang terbaik, ada yang begitu yakin kubu kanan adalah titipan dari sang Ilahi. Para pendukung dan relawan bergereliya melalui akun-akun media sosial, mencoba menyampaikan apa yang menjadi pendapatnya. Tak mau kalah para petinggi dan politisi juga ikut serta mengaduk fakta dalam logika yang dimilikinya.

The Sleeper percaya bahwa pilihan pasti akan berbeda, tak mungkin kita dengan latar belakang dan pemahaman yang berbeda-beda akan sepakat begitu saja dengan apa yang sedang disajikan. Tapi inilah yang cukup mengiris pelan hati the sleeper, dimana hal yang ditakutkan adalah bukan sekedar pilihan semata, tapi tujuan dari bentuk dukungan yang diberikan. Apakah benar segalanya dilatarbelakangi rasa cinta dan peduli untuk nasib bangsa kedepannya? Atau sebenarnya justru berisi kepentingan-kepentingan pribadi atau sekelompok saja? Yang ujung-ujungnya bicara soal apa yang dibutuhkannya. 

Menilik, teori kebutuhan yang disampaikan oleh Abraham Maslow, tentang piramida kebutuhan manusia, yang saya takutkan, mereka yang sedang memperjuangkan hal-hal tadi justru hanya bergerak di ranah dasar, tentang kebutuhan fisik, atau sekedar rasa aman semata. Namun mereka lupa bahwa kebutuhan tertinggi manusia sebenarnya adalah tentang bagaimana mampu memaksimalkan talenta yang telah Tuhan titipkan di dalam pribadi kita masing-masing. Sehingga, apa yang sedang kita lakukan selama ini, memang mengarah kepada apa yang menjadi kehendakNya. 

Begitu sedih dan cukup prihatin memperhatikan suasana ini, the sleeper memilih untuk menggelitik para peserta didik, tentang apa yang sebenarnya Tuhan mau dalam kehidupannya, melalui pembelajaran tentang ketenagakerjaan. Banyak yang memiliki pemahaman, bahwa bekerja adalah bentuk kewajiban agar mampu bertahan hidup, memenuhi kebutuhan dengan uang yang mampu dihasilkannya, atau menyampaikan sedikit mulia, hendak menolong sesama manusia, tapi harus menunggu uang menumpuk agar memiliki dampak yang lebih masif lagi. Benarkah demikian? Menengok teori kebutuhan yang tadi telah disampaikan, yang ditakutkan, mereka justru nantinya akan kembali terjerumus kedalam satu jurang pemahaman, bahwa bekerja adalah tujuan menjadi kaya, sebelum mereka mampu mendefinisikan apa itu arti dari kaya. 

Oleh karenanya, keluar dari penjajahan tak kasat mata, merupakan PR besar negeri ini. Bagaimana kita semua sebagai warganya, tentu berpereran penting dalam usaha memberantasnya. Bukankah memang sebenarnya bendera kita juga terdiri dari dua warna, namun kenapa kita selama ini mampu begitu menghargainya? (atau bisa jadi justru biasa saja?) Jadi jika pada nantinya kita tak memiliki agenda-agenda pribadi yang berisi penuh egoisme semata, dan kita sebagai umat manusia mampu mengisi hari-hari kita dengan memenuhi kebutuhan kita yang paling tinggi, yaitu aktualisasi diri, the sleeper punya harapan, perbedaan bukan menjadi ajang memecah belah, namun justru menjadi cerita dan warna, bahwa keunikan bangsa ini terletak pada kesatuannya, bukan pada persamaannya.