Saturday, September 10, 2016

Antara Harga Diri, atau sebuah Dedikasi?


Aku membawa cerita dari negeri seberang, dari seorang kawan yang selalu bertanya-tanya, tentang arti kata, yaitu tujuan. Temanku mengaku, bahwa dirinya sempat bertanya-tanya, sebenarnya apa itu sistem, apa itu kebenaran. Kenapa yang ada justru terlihat sebagai sebuah penjegalan, sebuah penghakiman, dan sebuah hukuman, tanpa rela mengerti, atau setidaknya mendengar. Aku tahu dia hanya seorang pelajar yang penuh tanda tanya di kepalanya, meski terselib beberapa tanda seru diantaranya. Tapi bukankah tugas dari sang pendidik adalah mendidik? Aku merefeksikan diriku sendiri, lalu teringatlah aku pada satu kata-kata sang maestro Soe Hok Gie.

"Guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan Dewa yang selalu benar, dan murid bukan kerbau" - Gie.

Lalu aku sedikit berpikir, apa iya, selama ini banyak para pendidik merasa bahwa dirinya adalah seorang dewa yang telah tahu segalanya? Bukankah seharusnya semakin seseorang belajar, ia semakin merasa bahwa ia tak tahu apa-apa. Tapi kembali lagi, antara harga diri dan dedikasi memiliki garis pemisah yang jelas. Jujur aku merasa risih, ketika ada seorang murid mengkritikku, memprotes teori-teori ajaranku, atau mengeluhkan cara-caraku. Lalu aku bertanya pada diriku, salahkah murid-muridku melakukan itu? Atau sama dengan temanku yang melakukan itu pada pendidiknya? Salahkah? Cukup menjadi klise ketika pendidik ingin meningkatkan berpikir kritis dan kreatif anak-anaknya, tapi justru menjegal ketika mereka menunjukkannya? Lalu aku harus bagaimana? Berasa menjadi dewa yang benar dalam segalanya? Atau mengakuinya?

Sudahlah, pesanku singkat pada temanku.
Murid memang bukan kerbau. Mereka pribadi aktif, kreatif, dan kritis. Berikan ruang mereka mengasah itu, tugas pendidik adalah koridornya, bukan memotongnya. Tunjukkan dalam harga dirimu, ada satu dedikasi yang murni. Dan tetaplah kritis, dan jangan memilih untuk menjadi apatis.