Saturday, November 25, 2017

Perlukah kita Mendengar

Malam ini begitu pekat, suasana memang tidak mencekam, tapi tidak pula menenangkan, beberapa awan sayu-sayu menghalangi pandanganku, pengamatanku pada hal yang paling aku sukai, ya, daun yang menari manis, meskipun tidak sesemangat ketika tak ada hadir ku. Kala itu aku terkejut, ia terbang melayang entah kemana perginya, aku hanya mampu mengamatinya saja, tapi tariannya terasa begitu menjadi-jadi. Ia terlepas dari tempat dimana ia harusnya berada, ranting telah kehilangan dirinya, tertiup angin yang memang menghempas cukup kencang.

Lalu aku berusaha bertanya padanya, kenapa dia membiarkan angin itu membawa pergi dirinya, aku tahu keputusannya akan membuatnya tak berarti lagi. Baik bagi dirinya, atau pohon dimana ia besar bersama. Jawabannya pun cukup mencengangkan, dimana ia berkata bahwa angin tak salah, hanya ia saja yang tak mampu berpegang erat pada ranting dahan itu.

Pohon, oh, kenapa kamu begitu tega membiarkannya terlepas begitu saja, sebenarnya ada apa ini? Apakah ini hanya adu kekuatan antara angin dan pohon? Lalu favoritku yang menjadi korbannya? Lalu apa yang bisa dibanggakan kali ini? Akh sudahlah, dia pun begitu rendah hati tak mau menyalahkan siapa-siapa. Aku pun tak berani berkata lebih, aku tak punya kekuatan untuk menolongnya. Biarkan tanah menerimanya, mengijinkan untuk daun itu istirahat dan membusuk di dalamnya. 

Aku yang hanyalah bulan, yang mampu menunjukkan diri pada gelap hari. Seandainya, antara pohon atau angin sebentar saja mendengarkan dirimu, daun, tak akan kau menjadi korban seperti ini. Syukurlah kau masih begitu besar hati, mengakui bahwa kamu pun luput untuk berpegang erat.

Monday, October 9, 2017

Dilematik yang Munafik

Berlahan aku mencoba, merangkai beberapa kata, mereka-reka angan serta rasa yang terus mengusik dan membisik dalam benak ini. Perjalanan akan terus maju, entah langah memilih untuk rehat atau berlahan undur, namun bumi tak pernah menyerah untuk berotasi, lalu berevolusi, mengitari matahari, begitu dan begitu selanjutnya. Lalu tinggalah langkah kita, yang tertelan laju kemajuan, atau tetap berjuang dengan gerusan kecepatan.

The sleeper tak tahu bagaimana harus berespon. Jujur belakangan menjadi waktu-waktu yang begitu sulit untuk dimengerti. Jika boleh meminjam kata-kata munafik, mungkin itu adalah kata yang paling mengambarkan. Ingin rasanya untuk berbuat ini dan itu. Melakukan hal-hal yang akan bermakna demi kehidupan yang ada disekitarnya. Memberikan telinga untuk mendengar setiap teriakan, maupun merasakan setiap lirih keluhan. Menyediakan tangan untuk mengangkat beban yang mulai terasa berat, atau membiarkan pundak menggendong setiap kekecewaan.

Tapi disisi lain, untuk mampu tetap melakukan hal yang benar, itu sangat butuh perjuangan. Ketika pikiran mulai teracuni oleh ironi-ironi duniawi, atau hati yang begitu liar seolah mempermainkan kehidupan hanya sebagai sebuah drama. Tak akan layak sepertinya, seorang yang begitu pekat dengan lumpur, berusaha memandikan bayi yang baru belajar apa itu kata kebersihan.

Kehidupan ini cukup unik. Banyak ranah-ranah yang diperebutkan dan begitu diinginkan oleh segelintir orang. Namun ada juga ranah-ranah yang begitu terasa menjijikkan. Lalu cenderung mulai memilih-milih, mana-mana saja yang kiranya baik untuk dirinya. Banyak cerita-cerita yang begitu menyayat hati dibalik senyuman-senyuman. Ada kisah-kisah pilu dibalik tawa lebar yang terlontar. Juga mungkin ada keinginan untuk menyerah disetiap perjuangan yang sedang dilakukan. Entahlah, semuanya terjadi begitu unik, begitu ajaib. Semakin the sleeper mencoba mengertinya, semakin merasa bahwa dia bukanlah siapa-siapa, lalu tak bisa berbuat apa-apa.

Mungkinkah mukjizat itu benar-benar ada? Lalu haruskah aku menunggu? Atau memperjuangkannya? Disaat keberdosaan selalu berusaha menahan, setiap langkah yang sedang diperjuangkan.

Thursday, August 17, 2017

Angin tidak pernah memaksa Daun untuk Terbang

Sore itu aku tutup hari dengan menikmati hangat mentari, merasakan sinarnya yang berusaha menembus rindang dedaunan pohon. Lalu aku memutuskan beranjak dari perenungan singkat, menaiki motor tua yang sudah sejak tujuh tahun lalu menemani berkelana, mengetuk setiap pintu, berharap ada kebaikan pemilik untuk mengijinkan raga ini singgah sejenak, tentu, untuk melepas lelah berkendara panjang. Sungguh sore yang begitu sopan, tak ada lalu-lalang kendaraan besar yang memenuhi jalanan. Sungguh sore hingga petang yang akan begitu panjang, dimana mata itu menatap cukup dalam, menyampaikan satu dua kata yang sulit untuk diartikan.

Aroma tanah yang terhirup begitu lembut, setelah seharian panjang diguyur oleh tangisan alam menghentikan laju. Motor sudah diparkirkan, dan langkah ini berjalan mencari beberapa barang yang yang memang akan diperlukan untuk beberapa waktu kedepan. Ini namanya pasar, dunia hiburan, dimana ada begitu banyak pedagang yang mengadukan nasibnya dengan memajang beberapa barang, berharap ada beberapa orang sepertiku yang tergoda untuk menawarnya lalu membungkusnya membawa pulang. Tapi jujur aku sebenarnya tak begitu tertarik bahkan sama sekali tak tergoda dengan segala rayunya, jika saja aku tak benar-benar membutuhkan apa yang harus kucari, tentu aku lebih memilih duduk, membiarkan wajahku diusap hangat oleh mentari sore itu.

Lalu, siapa yang menyangka, jika malas dan raguku, seketika membuatku kaku, dikala samar-samar aku merasa mendengar ada yang sedang berucap. Bukan, dia tidak berucap dengan tuturnya, aku mendengar dari tatapannya. Konsentrasikupun buyar, dimana list barang-barang yang harusnya aku dapatkan seketika menguap, melayang hilang ditelan teka-teki dari kata-kata yang hendak disampaikannya.

Aku tak mau untuk terbang, aku tak mau untuk bergerak atau melangkah, bukan karena aku tak mau, tapi angin tak pernah memaksa daun untuk terbang, angin hanya berusaha menyapanya saja.


(Terinspirasi sebuah novel Tere Liye)

Friday, August 11, 2017

Agustus, Merdeka dan Retorika

Angka yang boleh tertampilkan kini sudah berpindah ke nomor 8. Sudah semakin tergerus rintik yang dulu sering membasahi bumi ini, tergantikan dengan matahari yang berlahan meninggalkan sisi utara menuju ke khatulistiwa lalu berlabuh di ufuk selatan bulan nanti. Negeriku akan berpesta pora kali ini, 72 tahun berjuang sebagai sebuah bangsa yang mandiri, ya sebentar lagi akan genap, 72 tahun. Momen ini sering dikenal dengan istilah perayaan Kemerdekaan. Sedikit salam dari seorang yang hobi menghabiskan waktu dengan tidurnya, selamat ulang tahun negeri tercinta, dari the sleeper.

Kali ini pemikiran semakin liar, mencoba mencari celah dan arti dari kata merdeka itu sendiri. Jika boleh sedikit menilik waktu kala itu, sangat terpatri jelas setiap kata-kata yang guru-guru boleh ucapkan, bahwa saat itu pagi-pagi sudah dipersiapkan sebuah upacara dimana akan diplokamirkan sebagai sebuah hari kemenangan oleh salah satu orang hebat pendiri bangsa ini, yaitu Soekarno. "Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. . . . ." jika mendengarnya secara langsung memang sangat menggentarkan momen-momen pembacaan tersebut. Setelah itulah negeriku dengan bangga boleh mengatakan bahwa telah Merdeka.

Lalu benarkah negeriku ini sudah merdeka? Jika pengertian dari kemerdekaan dari KBBI sendiri adalah keadaan (hal) berdiri sendiri (bebas, lepas, tidak terjajah lagi, dan sebagainya). Benarkah demikian? Tapi jujur, entah ramuan apa yang telah Indonesia berikan, rasanya cinta selalu menang melawan kecewa, dimana sekarang kami sebagai rakyat lebih sering memilih untuk melukai dibanding menjaganya maupun menghargai. 

Sudahlah, bukan kapasitas the sleeper bicara mengenai kondisi-kondisi tersebut, the sleeper lebih tergelitik menilik apakah sudahkah pribadi ini mengalami yang namanya kemerdekaan itu sendiri? Atau masihkah memilih untuk terikat dengan hal-hal yang menghantui? Tabrakan antara kenyataan dengan harapan sering menyisakan tanya yang berujung pada luka.

Mungkin seringnya kesombongan menutupi nurani, sehingga lama-lama yang dikenal dengan istilah peka berlahan mati. Namun jika boleh sedikit meminjam status merdeka tadi, rasanya ingin menyampaikan suatu pesan, bahwa ketika memaksakkan senyuman dalam ratapan adalah hal yang cukup menyakitkan dan melelahkan.

Tapi kini, the sleeper memilih untuk menyiapkan teks proklamasi, menyiapkan kabinet, karena sebuah negeri tak mungkin berdiri di atas kaki satu orang saja. Meskipun dengan penuh kesadaran mengerti bahwa merdekapun tak menjamin bahwa seseorang akan bebas dari perjuangan. Negeri seberang akan selalu berusaha memperkosa harta yang kita miliki. Semoga angin membantu laju kapal ini untuk segera berlabuh, agar kiranya pengertian merdeka tak menjadi retorika, agar kiranya perjuangan itu sungguh nyata, untuk sesuatu yang orang tuju, kekekalan.

Wednesday, June 14, 2017

Simpan Saja?

Kebahagiaan itu memang tak bisa disembunyikan, semakin kamu mencoba menyimpannya, semakin lebar senyum yang tersungging dari bibirmu. Demikian juga dengan kepahitan, hal yang tak mampu juga untuk disimpan berlarut-larut. Anggaplah hari-harimu akan mampu menutupi keduanya, tapi tunggulah, semua akan jujur saat mimpi. Tuhan menciptakan perasaan untuk saling disalurkan dan diselesaikan. Pilihannya ada pada tangan kita, rasa seperti apa yang akan kita salurkan dan mana yang akan kita selesaikan. Apakah itu kebahagiaan, atau kepahitan.

Terkadang, semakin kita mengeraskan diri, yang namanya hati nurani memang susah untuk berdusta. Ada cara-cara tersendiri yang harus kita mampu pahami, dalam meresponi perasaan-perasaan tadi. Ada kala kita begitu menipu dengan senyum-senyum kita, ada kala kita begitu jujur dengan tawa-tawa kita. Semua tergantung, dari bagaimana kita menjalaninya.

Semakin besar hal yang kita miliki, maka semakin besar juga tanggung jawabnya. Begitu juga dengan perasaan, semakin besar perasaan yang kita simpan, semakin besar pula tanggung jawab yang harus kita bayarkan, baik itu kebahagiaan, maupun kepahitan.

Sunday, May 14, 2017

Kita tak mesti Sama


Sejujurnya pengamalanku kemarin bermisi bersama dengan tim yang sangat luar biasa ke Kupang memberi arti tersendiri, khususnya belakangan ini. Tentu banyak sekali hal-hal yang sangat memberkati ku kala itu, disaat kami memiliki misi untuk berbagi, tapi tamparan keras bagiku adalah aku menerima banyak hal, bukan sebaliknya.

Kesempatan ini aku ingin beercerita tentang pertanyaan yang masih tertinggal dalam benak ini, menanggapi hal-hal yang sedang terjadi. Teruntuk pendiri negeri ini, sebenarnya apa yang ada di dalam benak kalian kala itu? Secara kasar, hampir aku tidak menemukan persamaan, tentang Jawa dan Kupang kala itu, baik dari geografi, maupun orang-orang yang tinggal di dalamnya. Perjalananku satu minggu, mencoba mencari apa yang sama kala itu jujur tak kunjung membuahkan hasil.

Teruntuk pendiri negeri ini, apakah dulu kalian melakukan hal yang sama? Mencari persamaan untuk sebuah persatuan? Atau kalian menggunakan perbedaan dan persatuan hanya sebagai sebuah soglan untuk kepentingan diri?

Jujur aku masih bertanya, tentang tawa yang aku lihat kala itu, begitu sama tapi begitu berbeda. Masihkah itu akan berlaku, untuk aku yang melipat tangan kala berserah, dengan dia yang bersujud kala menyembah? Masihkah itu akan berlaku disaat aku dan kamu terlahir dengan warna yang berbeda? kondisi yang tidak sama? atau keluarga yang memiliki cerita berbeda?

Teruntuk pendiri negeri ini, apakah aku layak bertanya?
Siapa yang sebenarnya gagal?
Didikanmu? atau Egoismeku?

Mati Satu Tumbuh Seribu

Belakangan sepertinya dunia media sosial sedang diramaikan dengan berita-berita berkaitan dengan keadilan, kebeperpihakan, toleransi, serta tentang kesatuan maupun perpecahan. Satu demi satu kejadian bermunculan sebagai respon atas jatuhnya hukuman penjara selama dua tahun untuk gubernur Jakarta, Basuki C. P. (Ahok). Munculnya berita tersebut berasal dari pihak pro maupun kontra, dan dua-duanya memiliki argumentasi-argumentasi yang sama-sama kuat.

Pihak yang kecewa dengan putusan hakim membuat gerakan yang sangat masif, bahkan secara luar biasa hingga menular ke seluruh pelosok negeri. Bukan tanpa alasan, ini bukan soal siapa yang dihukum, namun tentang penegakkan keadilan serta kesatuan berbangsa dan bernegara. Sedangkan pihak satunya yang telah meminum air kelapa segar ketika mendengar hasil perhitungan KPU untuk pilkada DKI Jakarta, merespon dengan santai. Meskipun tetap nada-nada keras dan adu sinis tetap muncul sesekali.

Untuk alasan inilah kadang The Sleeper menjadi malu, atau bisa dikata cukup sedih. Ya, tentu sedih untuk hal-hal yang terjadi dengan saudara-saudara The Sleeper, namun jika dilihat jauh lebih dalam, ini membuktikan bahwa the sleeper masih memilih untuk tidak memilih. Nah, ranah abu-abu ini yang memang cukup berbaya. Kenapa? karena akan sangat sulit menentukan mana itu benar, dan mana itu salah. Di satu sisi, berargumen ada baiknya, itu menandakan ada hal yang memang dipegang sebagai sebuah kebenaran, at least untuk dirinya pada saat itu. Namun tentu cara yang elegan dalam menyampaikan pendapat tetap menjadi hal yang diperlukan. Apalagi ketika ingin menyampaikan pendapat yang menurutnya benar, janganlah mengurangi atau menambahinya, cukup cari sumber yang kredibel serta tampilkan itu dengan comprehensive, itu yang akan membuat saudara the sleeper lebih inspiratif lagi.

The Sleeper kira, masih banyak orang yang gagap dengan perpolitikan, anggaplah The Sleeper sendiri. Jadi, para saudara The Sleeper yang terkasih bisa dong jangan mempengaruhi atau menyusupkan konspirasi negatif. Berbagi hal-hal yang menyejukkan memang lebih susah dibanding menyebarkan hal-hal yang mengundang pertengkaran. Buat saudara yang ada di kanan, maupun yang ada di kiri, The Sleeper hanya ingin, Indonesia itu maju, malu sama tetangga :D. Jadi selamat menyampaikan pendapat, selamat menyampaikan kebeperpihakan, selamat menyampaikan kebenaran, The Sleeper tunggu itu dengan cara-cara yang kreatif dan elegan, tanpa mengandung kebencian, maupun penghancuran.

Wednesday, May 10, 2017

Fleksibilitas dalam Penundukan Diri

Prolog
Begitu mendengar kata Mission Trip, tentu banyak hal2 yang secara cepat pop up dalam pikiran saya kala itu. Cerita berawal ketika saya dipercayakan dengan beberapa guru lain untuk mendampingi beberapa anak2 menuju ke beberapa tempat yang sudah di tentukan. Sambil masih cukup excited menunggu kemana saya akan mendampingi, karena jujur saya sangat ingin ke pulau Sulawesi dari dulu dan tentunya sangat berharap mendampingi ke daerah sana, tapi seketika kata Kupang mengagetkan hayalanku tadi. Kupang, ya Kupang kota yang kata orang panas, kota yang kata orang penuh dengan orang2 yang seram, tapi syukurlah, saya kesana dengan rekan yang memang asli orang sana.

Singkat cerita pendaftaran mulai di buka dan anak2 mulai berantusias mendaftar. Tujuan pribadi mereka juga beragam, ada yang ingin mendapatkan pengalaman, ingin berbagi, hanya ingin jalan2 atau yang hanya karena tuntutan kewajiban saja, tapi itu awal, semoga prosesnya tidak demikian :D.

Lalu karena ada dua grup menuju Kupang akhirnya saya di percayakan mendampingi grup kedua, alias Kupang2. Sedangkan rekan saya tadi mendampingi Kupang1. Proses persiapanpun dimulai, dari penentuan tujuan lokasi, kegiatan, goal utama, dan hal2 pretilan lainnya. Hal itupun harus di lalui bersamaan dengan panitia UPHC Fest, koreksi tugas dan lainnya, namun itulah tantangannya.

Sunday, April 2, 2017

Tujuan

Lalu kami memilih bertanya, sebenarnya untuk apa kami dilahirkan? Atau setidaknya untuk apa kami menjalani kehidupan ini semua? Semata karena uang, atau sekedar tawa dalam balutan puing2 berlian? Jika benar bahwa langkah ini tak bertuan maupun tidak menuju muara kekekalan, lalu untuk apa lagi kaki ini tetap bergerak berjuang melawan tantangan yang sering berhasil mencuri tawa maupun senyuman.

Atau sering juga kami memilih bertanya nakal, kenapa kami tak di lahirkan disini atau disana saja, menjalani kehidupan dengan lebih baik lagi? Nyatanya ini sering melemahkan, bukan sebaliknya. Memang benar jalan ini tak kunjung bersahabat untuk petualang hebat sekalipun. 

Jika demikan benarkah nanti atau mati adalah hal yang lebih baik lagi? Atau kemarin dan saat ini, itu suatu tragedi yang kelak kan berujung hanya sebagai sebuah memori?

Kami masih mencari mimpi atau kami masih mengelak darinya. Kami masih belum mau pergi karena mungkin kami tak tahu dimana sedang berada. Mungkin saja peta mampu menjawab tanda tanya ini, tapi kamipun sering menghiraukannya.

Lalu sedikit kami boleh mengerti, bahwa bicara soal tujuan bukan semata tentang masa depan, tapi memahami tempat dimana kami sedang memandang.

Bahagia

Sebenarnya apa itu bahagia?
Aku pernah berpikir bahwa itu adalah sebuah tujuan, lalu seseorang membisikkan bahwa itu adalah sebuah alasan.

Bisakah aku tersenyum lalu aku bahagia, atau aku harus bahagia lalu aku mampu tersenyum?

Jika boleh aku pinjam gelap dan terang, tentang cerita bahwa gelap tak akan mampu melenyapkan terang, meski terang itu hanya setitik saja. Mungkin kah ini sama untuk bahagia dan kesedihan? Bahwa kesedihan juga tak akan mampu melenyapkan bahagia itu sendiri? Bisa jadi hanya kita yang mungkin sibuk dengan kesedihan lalu memilih menyembunyikan kebahagiaan di dalam almari.

Jika demikian, benarkah bahwa bahagia itu adalah sesuatu yang sejati, dan sifat yang hakiki sebenarnya tak akan pernah mati.

Biarlah tanya ini terus menggantung, menjadi irama dalam dalam langkah detak kehidupan. Lalu jawaban akan menerangkan, bahwa sebenarnya bahagia itu adalah sebuah pemberian.

Wednesday, March 29, 2017

Tanya di akhir Kata

Terlalu rumit untuk menjadi sebuah cerita, dan terlalu singkat untuk menjadi sebuah tulisan. Kejadian demi kejadian yang boleh terjadi di sekitaran belakangan ini membukakan banyak hal. Dari yang bersifat personal maupun sebaliknya. Hal itu berujung pada konsekuensi yang sarat akan logika serta emosi. Jujur aku tak mampu banyak bertingkah, mulutku kaku, tingkahku masih penuh ragu. tapi biarlah ini menjadi sebuah warna dalam langkah kehidupanku.

Aku hanya ingin bertanya, mana yang lebih baik, antara sebuah senyuman dan kehalusan tapi berisi tentang kebencian dan kepuasan diri? Atau bicara tentang kepolosan yang berisi hasutan penuh kejatahan? Mungkinkah aku memilih bunga yang tak sedap baunya tapi masih berada dalam pohon yang berakar dalam? Atau aku lebih memilih bunga yang berbunga wangi namun tak berada pada pohonnya lagi, yang menunggu waktu untuk akhirnya menjadi layu, bukan menjadi buah? Entahlah.

Kisah tentang seekor ayam kecil yang begitu bersemangat menjalani hidup, begitu bertalenta dalam mengepakkan sayap dan mencari benih-benih diantara rerumputan. Namun tergeletak lemas, menyadari bahwa hidupnya adalah seekor anak ayam yang harus ditinggalkan sang induk, demi melatih kemampuan survivalnya?

Kisah tentang selembar daun yang terhuyung-huyung menikmati sapuan sang angin, hingga lupa bahwa dia tak lagi berada diranting pohon lagi. Menikmati, hingga menjadi lupa bahwa ada saatnya nanti ia akan tergeletak ketika tak ada angin yang membawanya terbang lagi?

Sebenarnya kemana arah ini semua? Lalu bagaimana menyikapi ini semua? Menemukan jawaban atas pertanyaan memang tak semudah meletakkan tanya diakhir sebuah kata.

Monday, March 13, 2017

Dota 2

Hei,
Kamu yang telah mencuri malamku,
Kamu yang telah menyita waktu tidurku,
Kamu yang mampu mendengar kata-kata dari jembatan mimpiku,
Harus aku apakan sebenarnya dirimu?

Kau bukan narkobaku, kau juga tak mampu membuatku merasa candu,
Lalu kenapa kau tetap mampu masuk dalam labirin rumit hidupku?
Menerobos batasan yang menjadi penghalang?
Mencoba membantuku, melupakan hari-hari berat yang telah berlalu.

Ini tak nyata, ini hanya sekedar ilusi,
Tapi malamku, selalu tersapa, oleh hadir dan celotehanmu.
Biarkan waktu yang akan menuntun,
haruskah aku terus menunggu,
atau memperjuangkanmu?

Tuesday, March 7, 2017

Kebahagiaan vs Keegoisan

Bagaimana mungkin seseorang mampu mengatakan bahwa ia merasa bahagia jika ada hal-hal yang tidak lengkap darinya? Tentu ini adalah salah satu hal yang sangat subjektif, dimana porsi serta standar tentang kebahagiaan itu sangatlah relatif. Lalu adakah ini berhubungan juga tentang keegoisan? Banyak pilihan yang sepertinya akan membahagiaan kehidupan, tapi banyak juga peraturan yang mencoba membatasinya. Aku sependapat, bahwa memang kebebasan kita adalah kebabasan yang terbatas, bukan kebebasan yang sebebas-bebasnya, tapi bagaimana untuk berbahagia? Seringnya ego ini menuntun untuk menabrak keterbatasan itu sendiri, melawannya lalu merebut apa yang dinamakan sebagai sebuah kebahagiaan.

Aku baru merasakan satu pengalaman yang sungguh membahagiakan. Dimana keberuntungan menuntun pada satu jawaban atas sebuah impian. Ada seorang teman memberitahukan kepadaku bahwa sedang diselenggarakan sebuah lomba untuk mendapatkan tiket kelas foto yang termasuk tiket masuk untuk pertunjukkan Java Jazz 2017. Wah, ini tentunya sebuah kesempatan bagiku, sudah sejak 2014 lalu aku ingin mengikuti pertunjukkan musik ini, tapi ada saja kendalanya, entah soal ijin, waktu, atau urusan dompet. Ya, tak ada yang mengira, namaku masuk menjadi salah satu dari 50 orang yang lainnya, yang mendapatkan kesempatan untuk menikmati impianku sebelumya.

Tapi, pikiranku kadang liar, kadang memikirkan, layakkah aku untuk merasa bahagia? Ketika teman yang memberitahukan hal ini, justru tidak mendapatkan kesempatan yang sama. Memang bohong jika aku menjawab bahwa aku tidak bahagia atau biasa saja. Tapi bukankah ini juga bukti bahwa bahagiaku kadang bersebelahan dengan keegoisan. Aku takut justru nantinya bahagia yang orang-orang kejar selama ini akan semakin menjadi-jadi, dan akan mengorbankan kebahagiaan itu sendiri.


Tuesday, February 28, 2017

Maksud dan Tujuan

Pagi ini hari dibuka dengan hujan yang begitu deras, tapi hal itu pun tetap menyisakan pertanyaan semalam. Tentang untuk apa aku perlu berada di puncak sebuah gunung, atau untuk apa aku terus berjerih payah dalam perjuangan yang ada. Begitu kompleknya hidup cenderung membuat aku memilih untuk menjalaninya saja, tanpa perlu memikirkan dan mempertanyakan, bahasa sederhananya let it flow aja. Tapi, benarkah demikian?

Belakangan aku melihat ikan-ikan, berlenggok kesana kemari, lalu berkata, ini ada karena karyaku, ini indah karena keberadaanku. Atau ikan-ikan yang sibuk berenang kesana-kemari, lalu berkata, aku bahagia, aku lebih berwarna dari teman-temanku, tentunya juga merasa lebih layak dibanding keong-keong yang hanya berdiam terpojok di sudut akuarium. Aku juga melihat ikan-ikan yang memilih untuk tenang, memilih diam di air yang tak terlalu bergoyang. Tapi kenapa yang aku lihat semuanya sama, mereka ikan, tak lebih dari makhluk yang hidup yang tinggal dalam sebuah keterbatasan.

Lalu sebenarnya apa? Lalu sebenarnya kenapa?

Aku ingin bertanya, kepada para pendaki. Aku juga ingin bertanya kepada para penulis. Aku juga ingin bertanya kepada para pendidik. Untuk apa berdiri di sebuah puncak, atau untuk apa menuliskan kisah-kisah, atau untuk apa berbagi ilmu-ilmu pengetahuan? Adakah ini hanya sebuah ironi yang berujung pada kepuasan pribadi? Atau sebuah perjalanan skenario ilahi?

Ataukah benar ini merupakan misteri? Dimana hidup adalah pilihan di dalam sebuah pemeliharaan.

Saturday, February 11, 2017

Logika Cerita

Tawa dan air mata mungkin berbeda, senyum dan tangan mengepal mungkin juga tak sama. Februari sudah hampir setengahnya, tapi ini cerita tak kunjung menemukan akhir kisahnya. The Sleeper ingin berbicara tentang sebuah ketidakmungkinan. Entah kenapa tema awal tahun ini banyak bicara tentang hal itu. Tentang rasa-rasa yang bertabrakan dengan logika, yang mungkin orang membacanya sebagai etika.

Awalnya mungkin hanya canda, lalu semua tertawa. Tapi siapa yang tahu bahwa dalam hatinya meneteskan air mata? Orang-orang terlalu sibuk mengartikan sesuatu yang mudah untuk dilihat, lalu mengabaikan cerita yang ada di baliknya. Ketika mungkin orang mengiranya baik-baik saja, tentang senyumnya yang begitu manis dan menyejukkan, siapa yang sangka tanggannya mengepal ingin menghancurkan? Entah, dia pun sebenarnya tak tahu pasti apa yang akan dihancurkan, mungkin dirinya, logikanya, atau perasaannya, entah.

Sebagai manusia kita tak akan mampu mengatur hal-hal apa saja yang akan menimpa diri kita. Termasuk kejutan-kejutan yang istimewa. Yang terkadang menyejukkan, terkadang juga menghancurkan. Tapi itulah nada dalam kehidupan yang penuh dengan cerita-cerita, serta rangkaian rajutan dari Sang Esa. Kita punya dua pilihan untuk meresponinya, memaki-maki serta mengeluhkannya, atau ya, memang menghela nafas, tapi lalu memperjuangkannya. Karena seharusnya kita bisa yakin dan percaya, bahwa cerita memang tak akan selalu manis, apalagi masih di tengah-tengah, tapi yang Punya pasti tahu bagaimana harus mengakhirinya.

Kini ketidakmungkinan itu muncul, mencoba menggerogoti logika, tapi memberikan sedikit rasa, tentang bagaimana hazelnut yang terbungkus dalam sebuah cone. Tentang dinginnya es krim, yang berlahan mengaburkan perih siang panas saat itu.

Sunday, January 29, 2017

Selamat Datang Januari

Selamat Januari,
Selamat Natal dan Tahun Baru jika ini belum terlambat :)
Memang sudah 2 hampir dua bulan ini tanganku enggan menekan deretan tombol keyboard, entah karena rasa malasku, atau adu logika kepalaku, membentur dan tak teratur.

The Sleeper pernah menulis sebuah tulisan, dengan judul, Juventus menang, Juventus menghilang. Lucu mengenang dan membacanya lagi, menguliti hal-hal yang pernah menjadi rasa beberapa tahun yang lalu dan kini kutemukan bijinya, ketika kulit dan buah, telah tersayat oleh pisau yang digunakan untuk membukanya. Apaan sih, kok jadi ngga jelas gini tulisannya? Sudahlah, sini akan kuceritakan sebuah kisah, kisah yang pernah kubaca dibuku-buku, atau yang pernah kusaksikan di layar lebar, namun tak pernah kurasakan dan kujalani.

Namanya Farhan, dia seorang petualang, tapi lakunya cukup sopan untuk model orang dengan kegiatan dan hobinya. Sore itu dia pulang, dari hari-harinya yang melelahkan. Diletakkan dokumennya sembarangan, lalu duduk termenung, mengamati gerak kesukaannya, salah satu aktivitas kegemarannya. Memperhatikan seekor ikan mas koki yang sedang berliuk-liuk, berenang kesana kemari, mencoba mengarungi dan dan menguasai besar aquarium yang tak lebih dari 0,5 meter kubik. Indah, itu hal yang dia dapatkan, tentang semangat seorang diri, yang terkurung kotak persegi, namun tak pernah letih untuk berlari. Entah apa yang dia sedang cari, dunia luar yang tak dia kenal, atau rasa syukur tentang ruang yang masih dimilikinya.