Wednesday, September 23, 2015

Jangan mau untuk Mendaki!

Kegiatan alam adalah salah satu kegiatan yang belakangan ini ramai digiati oleh para remaja, khususnya adalah kegiatan mendaki gunung. Bukan tanpa alasan, alam memang memberikan pesona yang susah untuk di tolak, apalagi untuk para pribadi yang kesehariannya hampir direnggut oleh kesibukan aktivitas pekerjaan di perkotaan. Pendakian menjadi salah satu alternatif yang dapat diambil untuk menyembuhkan kepenatan yang sering kali dirasakan.

Munculnya film-film yang membahas tentang pendakian seperti 5cm garapan Rizal Mantovani maupun Everest yang belakangan release di layar lebar nusantara seolah menjadi motivasi lebih bagi para pribadi yang ingin merasakan kegagahan alam. Seolah kita sebagai manusia, ketika mendaki dan mencapai puncaknya nanti, maka kita akan menang dari alam yang begitu gagahnya.

Sayang kita sering lupa bahwa apa yang sebenarnya diberikan dari kegiatan pendakian bukanlah soal menang atau kalah, karena mau bagaimanapun, mau sekuat apapun kita, the sleeper berpendapat bahwa gununglah yang akan selalu menang. Serta sudah semestinya para pendakilah yang tambah menunduk, ketika semakin tinggi dia mendaki puncak-puncak yang ada.

So, bagi kalian para kawan yang saat ini berencana untuk mendaki, urungkan niat kalian segera. Karena ketika kita mendaki kita tidak diajarkan untuk bersombong diri, karena ketika kita mendaki kita tidak di ajarkan untuk berbuat semau diri, tidak boleh buang sampah sana sini, tidak boleh petik sana sini, seolah kita tidak lagi dapat berekspresi. Jadi, lupakanlah, buanglah niat untuk mendaki, karena kita tidak di ajarkan untuk mengangkat dada tinggi-tinggi, tapi justru dipaksa belajar bahwa kita harus menjaga diri serta mengendalikan diri dan emosi.

Pikirkanlah lagi, niatmu, niat untuk mendaki. Karena niatmu itu justru sering merusak, meninggalkan coretan dan gumpalan bagi gunung yang semestinya asri. Jangan mau pertaruhkan nyawamu untuk hanya sekedar memiliki foto dengan kertas putih di genggamanmu yang bertuliskan kata-kata bualan, yang pada akhirnya justru menjadi ironi bagi gunung itu sendiri. Pikirkanlah lagi, karena mendaki bukanlah hanya sekedar kegiatan dengan keindahan dan kemegahan, tapi lebih dari itu, mendaki adalah bentuk penyerahan, sadar bahwa kita adalah ciptaan yang semestinya menjaga dan menikmatinya bukan memperkosanya.

Jadi, jangan mau untuk Mendaki!!!

Monday, March 30, 2015

Hujan dalam sebuah Siang

Rasanya aneh, jika the sleeper dikatakan tidak menyukai es krim. Sebuah jajanan mendunia yang hampir disukai oleh banyak kalangan baik dari bayi sampe aki-aki, the sleeper kira semuanya akan menyukainya. Begitulah, fantasi rasa es krim yang sangat susah dituliskan dalam kata-kata itu menemani perenungan siang panas itu. Entahlah, mungkin matahari sedang merasa bersemangat kala itu, hingga kulit ini rasanya sedikit mematang. Tapi bukan ini maksud ceritanya, siang itu the sleeper tersadar akan sebuah bisikan, entah datangnya dari mana, yang jelas begemelut di dalam batin. Sebuah rasa yang sepertinya sangat sulit untuk dibahasakan. Ibarat petani merindukan hujan dalam terik siang.

Aneh rasanya, jika dalam kehidupan ini kita merasa apa-apa itu bebas. Coba saja jika demikian, pasti sudah akan aku katakan semua ini padanya, mungkin karena aku sudah tidak mampu lagi untuk menahannya, yang selalu begemelut dan melilit batin pikiran ini. Tapi ingatlah, justru kebebasan kita itu adalah kebebasan yang terbatas, kita di batasi oleh kebebasan orang lain itu sendiri, ya simplenya begitu. Oleh karenanya meskipun ini hati mengharapkan rintik hujan datang siang itu, mulut tetap saja akan terbungkam, ynag hanya mampu dibahasakan oleh sebuah tatapan, ya, biarlah mata saja yang berbicara tanpa harus mengeluarkan kata-kata, karena hal tadi, karena hidup itu bebas, dalam sebuah batasan.

Ya meski the sleeper yakin, bahwa ada saatnya nanti ketika es krim ini telah habis terletan, dan mendinginkan pikiran, adakan ada waktunya, waktu dimana hujan akan mengguyur siang, sesuai harapan, sesuai impian. Ijinkan sesuatu yang mencekik ini keluar, agar dia juga tahu, apa sebenarnya yang ada beberapa waktu ini. Meski sekali lagi, mungkin hanya mata yang mampu berkomunikasi.

Sunday, February 22, 2015

Dewasa Itu Pilihan

Sebuah Quotation yang udah sangat-sangat umum, mengatakan bahwa 'dewasa itu pilihan'. Tapi sebenarnya apa artinya? Perlajalanan the sleeper belakangan membawa pada sebuah lembaran kehidupan yang paling susah dicerna. Dari impian, kenyataan, kebahagiaan, kesedihan, dan keterasingan.

Terngiang sedikit lembaran kisah, dimana makan hanya sesusah berjalan sejauh 50m dengan membawa sendok. Ketika kesepian hanya ketidakmungkinan ketika melepaskan headset dari telinga. Tapi inilah salah satu life point yang perlu the sleeper lalui. Kondisi dimana the sleeper dihadapkan pada banyak sekali pilihan, pilihan yang pada akhirnya akan menentukan arah kemana kapal kehidupan ini akan dilabuhkan.

Pernah dan masih berbekas, bahwa keinginan untuk hidup lebih baik sebagai seorang laki-laki telah dipatenkan. Seolah sebuah komitmen saat itu akan menjadi jawaban atas keinginan perubahan. Namun yang ada pilihan yang membingungkan, hati yang tak terkendali, serta daging yang masih begitu lemah menjadi tantangan yang tak bisa terelakkan. Ada saja kondisi dimana komitmen itu hanyalah sekedar pajangan dinding, hanyalah formalitas yang tak perlu dihargai dan diakui.

Menyadari bahwa hidup ini tak hanya sekedar membuka mata, bekerja, memakan sesuap nasi, lalu menutup mata (lagi) begitu dan begitu seterusnya? Tentunya tidak, the sleeper tetap menyadari ada hal yang lebih penting dari hanya sekedar rutinitas semata. Tapi saat ini ada beberapa bagian dalam diri yang perlu pembenahan serta penyesuaian, bahkan untuk menjadi sesuai impian (pria), ini bukan lah perkara mudah semata. Sepertinya masih perlu perasan pikiran dan perasaan kedepannya, bukan semata-mata untuk menjadi pria dunia, tapi menjadi pria dewasa. Pria yang seperti keinginanNya. Itulah mengapa saya setuju bahwa kedewasaan adalah sebuah pilihan, pilihan untuk tetap memperjuangkan atau kalah dengan tantangan.

Tuesday, January 6, 2015

Panjang, tak sesingkat waktunya

Sepertinya tahun telah berganti, dari angka 4 menjadi 5, satu tahun, 365 hari, terasa seperti kedipan mata saja. Tulisan ini mungkin akan sangat membosankan, setidaknya ini yang akan membantuku mengurangi beberapa keluh yang tidak semestinya aku pendam dalam. Desember 2014, siapa yang tidak menantikan bulan ini sebelum-sebelumnya? Sepertinya susah untuk tidak menantikannya, dimana Natal, liburan, hujan serta petualangan biasanya terbungkus menjadi satu. Begitu juga dengan ku, bulan ini sepertinya telah kurindukan sejak lama, menanti dimana paru-paru bisa menghirup udara lebih lama lagi dari biasanya, menanti dimana jantung akan bekerja lebih santai dari biasanya, dan menanti dimana mata akan tertutup lebih lama dari biasanya, serta menanti hati yang akan terisi pelukan dan senyuman orang-orang terkasih lebih banyak lagi dari biasanya.