Saturday, March 24, 2018

Bumi

Sedang ramai sepertinya orang-orang menuju  ke Murmansk
mencicipi sensasi aurora ala perang dunia kedua.
Mungkin juga mereka berebut menuju ke Paris,
berpesta pora menikmati kota penuh romansa.
Atau bisa jadi justru memilih bersantai di Brussel, sembari menikmati segelas cokelat panas.

Aku terdiam, menatap matahari yang sedang berlahan kembali ke peristirahatan.
Mengamati merpati yang begitu bergembira terbang mengantar senja.
Menatap langit yang berlahan berubah warna, menorehkan gradasi tentang cinta, logika dan realita.
Bermain kerikil, mengambilnya, melemparnya jauh ke danau, sekumpulan genangan air di pinggiran himpitan pegunungan baja dan kaca.

Tak banyak yang mampu aku lakukan, berbeda dengan yang aku pikirkan.
Berkecamuk dalam dan liar, tentang apa itu harapan yang sering paradoks dengan perjuangan.

Tak banyak yang mampu aku katakan, berbeda dengan yang aku tuliskan.
Terlalu frontal, terlalu retorik, dan kadang juga munafik.

Aku tak butuh Murmansk, tak juga Paris, apalagi Brussel,
tidak perlu sensasi, tak perlu romansa dan juga tak perlu sebuah kenikmatan belaka.
Aku memilih untuk berani saat ini,
memilih untuk tak kabur dengan sebuah gradasi,
memilih untuk tidak ragu dengan himpitan keadaan.

Sinar rembulan yang berlahan datang, menyapa pelan dalam gelap raguku,
berusaha menumbuhkan rasa yang tak sadar aku membuatnya mati.
Memberi harapan dalam keputus-asaan.
Meski akhirnya aku dipaksa untuk mengerti,
Jika suatu saat nanti, selama matahari masih menyinari
bumi akan terus berevolusi.