Tuesday, April 19, 2016

Labirin

Hati atau hidup itu bak labirin, semakin kamu berlari dengan emosi, semakin kamu tak sadar kemana kamu sedang pergi. Sama hal nya juga, ketika kamu melangkah tanpa berpikir dan bermain logika, jangan-jangan langkahmu sedang berpijak disatu tempat dan tak bergerak. Banyak orang yang mengartikannya dengan sederhana, tapi rasanya tidak juga melihat banyak sudut yang kadang memang menyudutkan, dan bahkan melihat ujung, yang kadang tak berujung.

Rasanya hari ini dilalui dan tak pergi kemana-mana. Seperti menikmati duduk manis di sudut labirin, mengunyah cokelat, ditemani segelas susu dan kuning mentari yang meredup dari kejauhan. Indra ini sepertinya sudah nikmat dengan apa yang ada, dengan sudut ini, dengan atap langit ini, dengan pemandangan ini, dengan setiap tikungan dan jalan lurus di sekitaran ini. Dalam benak sih mungkin terbersit pikiran untuk melihat apa yang ada di sudut sebelah sana, apa yang ada diujung jalan itu, tentang pemandangan yang ada dari atas labirin ini? Tapi angan itu tersapu, kembali oleh enaknya cokelat sore itu, oleh aliran susu yang mengalir ditenggorokkan ketika dahaga mulai menyerang, dan warna mentari yang tak bisa dibilang tidak indah juga.

Pernah sekali untuk mencoba berlari, dan tersadar bahwa tiba di suatu tempat yang tertuntun oleh emosi. Ya, tentu saja, kembali tak tahu ini ada dimana lagi. Akhirnya, membuka carrier, memotong cokelat tersisa dan menghangatkan susu kembali. Senyum tetap masih mengihasi wajah lelah ini, meskipun tetap sebenarnya hati yang maha mengetahui. Pertanyaan dimana ini dan apa yang harus dilakukan kadang menjadi retoris, karena ya memang jelas.

Meski tersadar bahwa dalam carrier ada satu Peta, dan dapat diandalkan, tapi enggan. Pernah mencoba untuk mempelajarinya dan mengikutinya, tapi hasilnya sama saja, kembali ke sudut itu lagi. Sudahlah, entah emosi, entah kenyamanan, entah keengganan yang masih membuat tetap disini. Yang jelas labirin ini jika dipikir-pikir cukup menyakitkan dan tidak sesederhana yang dipikirkan sebelumnya. Semoga Harapan tentang adanya ujung dari labirin ini tetap terjaga untuk membuat kaki ini tetap melangkah dan tidak terjebak dalam satu sudut ini saja, meskipun tahu itu susah pada aplikasinya.

Wednesday, April 13, 2016

Pemimpin

Melihat beberapa dokumenter tentang krisis Amerika 2008 membuat hati dan pikiran menjadi bergejolak. Bagaimana tidak, sebuah negera adidaya dan sebesar Amerika dapat mengalami satu krisis yang begitu menyeramkan bahkan hingga menyeret deretan negara di Eropa dan dunia. Tak sedikit nama-nama jajaran CEO perusahaan-perusahaan besar tersebut menjadi artis media masa, sebut saja salah satunya Richard "Dick" Severin Fuld. Sebagai pemimpin di Lehman Brother tentunya dia adalah salah satu orang yang paling bertanggung jawab atas kondisi perusahaannya yang pada akhirnya dinyatakan bangkrut.

Sekarang bagaimana jika perusahaan itu adalah tubuh atau diri kita sendiri? Bertanggung jawabkah kita atas kondisi yang sekarang sedang terjadi dalam kehidupan kita saat ini? Sebagai suatu insan di dalam dunia ini, tentunya kita memiliki satu idialis yang pada akhirnya akan menuntun setiap apa yang kita lakukan. Inilah yang the sleeper coba definisikan dengan memimpin diri sendiri. Selama ini mungkin kita telah sering untuk memimpin diri kita sendiri dengan berbagai-bagai macam instrumen kehidupan. Simpelnya, ketika memilih untuk beranjak dari ranjang, ketika memilih untuk membeli makan ini dan itu, ketika memilih kata dalam berucap, ketika memilih sikap dalam meresponi dan lain sebagainya. Tentunya itulah yang pada akhirnya akan menjadi tumpukan kehidupan kita saat ini, rangkaian hasil keputusan masa lampau.

Bagaimana jika saat kita memimpin diri kita ini, justru membawa pada satu kehancuran? Hah, begitu sombongkah kita, yang seolah tahu segalanya, yang seolah bisa segalanya? Lupa bahwa kita hanyalah seonggok debu yang beruntung karena Nafas Sang Pencipta yang membuat kita menjadi ada. Lalu, masihkah kita memimpin diri kita dengan segala keegoisan kita pribadi? Tanda tanya, dan jawablah pribadi. Saat menyadari bahwa karena Anugerahlah kita dapat memimpin, seharusnya akan merubah satu persepsi tentang memimpin diri kita sendiri. Hal itu lah yang pada nantinya akan tercermin, dan nampak, dari setiap buah. Ya, karena kita bertanggung jawab atas perusahaan diri kita sendiri, tentunya dengan satu persepsi bahwa perusahaan itu bukanlah milik kita, tapi sebuah Anugerah yang indah yang boleh kita jaga dalam kehidupan ini.

Tuesday, April 12, 2016

Salam Hangat

Rasanya jari ini sudah mulai kaku, sudah sulit mengenali huruf-huruf yang dulunya bersentuhan untuk merangkai kata demi kata pada blog the sleeper ini. Tapi kesulitan itu tak sebanding dengan rindu yang cukup menggebu untuk kembali menulis, merangkai kata dari setiap asa dan rasa yang mungkin selama ini telah terbiarkan terpendam oleh lantunan waktu yang pelan, tapi terus menggerus maju.

2016, sepertinya angka tersebut tidak memberikan waktu kepada the sleeper untuk sejanak duduk, menikmati dan merasakan waktu. Yang mungkin kini lebih mudah untuk dirindukan daripada dilakukan. Bumi berputar, waktu berjalan, dunia bergerak, ya semuanya bertanggung jawab atas setiap perubahan yang ada disekitar belakangan ini. Sudah tidak ada saatnya lagi untuk dapat menjalani hidup tanpa berpikir, dan memang seharusnya tidak.

Ilustrasi yang dulu pernah didengar, sekarang seolah menjadi nyata. Dimana dulu ketika kanak masih bisa bermimpi untuk terbang, bermimpi untuk memberikan perubahan, bermimpi untuk membuat mereka tersenyum lebar, tapi itu sekarang telah tergantikan. Gelap telah berhasil menggantikannya dengan keputus-asaan, ketakutan, dan keyakinan untuk tidak dapat mewujud nyatakannya. Aneh sepertinya, usia bertambah, logika meningkat, kemampuan juga jadi lebih baik dari sebelumnya, tapi justru menciutkan mimpi itu, bagai jiwa yang sudah tak berenergi lagi, ya, itu aneh.

Mungkin dimana kaki melangkah dan pikiran berpijak disitulah titik permasalahannya. Ketika berharap hikmat dari sumber yang tak tahu asal-usulnya, ya tentunya mudah saja menyesatkan. Tapi, coba jika belajar dan mencari dari sumber hikmat yang Benar, mungkin saja itu jawabannya. Jawaban atas memudarnya rasa dan asa yang dulu ada dan begitu pekat. The Sleeper mungkin perlu belajar, untuk selalu merenungkan apa yang akan dan telah dilakukannya seharian, untuk dapat kembali menyadari, bahwa tubuh ini diciptakan bukan hanya untuk berkontribusi atas kepenuhan bumi ini saja.

Salam hangat,
the sleeper.