Friday, August 11, 2017

Agustus, Merdeka dan Retorika

Angka yang boleh tertampilkan kini sudah berpindah ke nomor 8. Sudah semakin tergerus rintik yang dulu sering membasahi bumi ini, tergantikan dengan matahari yang berlahan meninggalkan sisi utara menuju ke khatulistiwa lalu berlabuh di ufuk selatan bulan nanti. Negeriku akan berpesta pora kali ini, 72 tahun berjuang sebagai sebuah bangsa yang mandiri, ya sebentar lagi akan genap, 72 tahun. Momen ini sering dikenal dengan istilah perayaan Kemerdekaan. Sedikit salam dari seorang yang hobi menghabiskan waktu dengan tidurnya, selamat ulang tahun negeri tercinta, dari the sleeper.

Kali ini pemikiran semakin liar, mencoba mencari celah dan arti dari kata merdeka itu sendiri. Jika boleh sedikit menilik waktu kala itu, sangat terpatri jelas setiap kata-kata yang guru-guru boleh ucapkan, bahwa saat itu pagi-pagi sudah dipersiapkan sebuah upacara dimana akan diplokamirkan sebagai sebuah hari kemenangan oleh salah satu orang hebat pendiri bangsa ini, yaitu Soekarno. "Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. . . . ." jika mendengarnya secara langsung memang sangat menggentarkan momen-momen pembacaan tersebut. Setelah itulah negeriku dengan bangga boleh mengatakan bahwa telah Merdeka.

Lalu benarkah negeriku ini sudah merdeka? Jika pengertian dari kemerdekaan dari KBBI sendiri adalah keadaan (hal) berdiri sendiri (bebas, lepas, tidak terjajah lagi, dan sebagainya). Benarkah demikian? Tapi jujur, entah ramuan apa yang telah Indonesia berikan, rasanya cinta selalu menang melawan kecewa, dimana sekarang kami sebagai rakyat lebih sering memilih untuk melukai dibanding menjaganya maupun menghargai. 

Sudahlah, bukan kapasitas the sleeper bicara mengenai kondisi-kondisi tersebut, the sleeper lebih tergelitik menilik apakah sudahkah pribadi ini mengalami yang namanya kemerdekaan itu sendiri? Atau masihkah memilih untuk terikat dengan hal-hal yang menghantui? Tabrakan antara kenyataan dengan harapan sering menyisakan tanya yang berujung pada luka.

Mungkin seringnya kesombongan menutupi nurani, sehingga lama-lama yang dikenal dengan istilah peka berlahan mati. Namun jika boleh sedikit meminjam status merdeka tadi, rasanya ingin menyampaikan suatu pesan, bahwa ketika memaksakkan senyuman dalam ratapan adalah hal yang cukup menyakitkan dan melelahkan.

Tapi kini, the sleeper memilih untuk menyiapkan teks proklamasi, menyiapkan kabinet, karena sebuah negeri tak mungkin berdiri di atas kaki satu orang saja. Meskipun dengan penuh kesadaran mengerti bahwa merdekapun tak menjamin bahwa seseorang akan bebas dari perjuangan. Negeri seberang akan selalu berusaha memperkosa harta yang kita miliki. Semoga angin membantu laju kapal ini untuk segera berlabuh, agar kiranya pengertian merdeka tak menjadi retorika, agar kiranya perjuangan itu sungguh nyata, untuk sesuatu yang orang tuju, kekekalan.

No comments:

Post a Comment