Sunday, January 19, 2014

Kebahagiaan yang terbungkus dalam Kesederhanaan, Sebuah Catatan perjalanan Gunung Sindoro 3.125mdpl

Liburan, ya siapa yang tidak menginginkan hal tersebut. Sebagai manusia, kita tentunya memiliki aktivitas dalam keseharian kita, entah yang masih belajar, bekerja, atau lainnya. Yang jelas kita satu sama lain memiliki aktivitas meskipun dengan intensitas dan karakteristik yang berbeda-beda. Nah, karena memang kita telah jatuh dalam dosa, kita memiliki banyak kecenderungan natur dosa, salah satunya adalah mudah merasa bosan. Sekarang siapa yang tidak bosan jika setiap harinya hanya belajar dan belajar saja, atau bekerja dan bekerja saja. Maka dari itu kita mengenal istilah liburan, sebuah kesempatan dimana kita berhenti dari rutinitas sehari-hari kita untuk melakukan sesuatu yang diluar kebiasaan kita.

Dengan sifat dan karakter manusia yang berbeda-beda, tentunya menimbulkan cara yang berbeda-beda pula dalam setiap insan mengisi waktu liburan mereka. Ada yang memilih untuk menghabiskannya dengan tidur terus terusan dengan alasan, kurang tidur saat terbelenggu rutinitas. Ada yang berkumpul dengan teman-teman dengan alasan, kekurangan waktu saat dikekang aktivitas. Ya, menurut saya tidak ada yang salah, terserah mereka mengisinya dengan hal apa dan bagaimana, asalkan tidak melanggar dari ketetapan norma dan agama, bagi saya sah-sah saja.

Ini dia yang akan saya sharingkan, sebuah pengalaman yang benar-benar tidak dapat saya lupakan. Tahun 2013 hampir mengakhiri hari-harinya, dan ini waktu saya dapat kesempatan untuk liburan. Saya mengisi waktu liburan ini dengan sebuah kegiatan yang sangat tidak saya duga sebelumnya. Memang sempat terencana untuk mendaki sebuah gunung yang terletak di kabupaten Wonosobo dengan ketinggian 3.125mdpl, tapi saya kira rencana itu akan tergantikan dengan sebuah gunung yang memiliki ketinggian sekitar 2.600an mdpl.



Benar-benar kaget, ketika saya mendengar keantusiasan dari masing-masing anggota keluarga saya untuk menaklukkan gunung yang bernamakan Sindoro tersebut. Jika begini ceritanya, semangat sayapun seketika terbakar, survey jalur pendakian, ijin penduduk setempat, melengkapi perlengkapan, belanja logistikpun langsung kami lakukan H-1. Setelah semua siap, malam harinya pun kami packing, dan bergegas istirahat untuk menyiapkan stamina kami esok hari, sebuah catatan perjalanan menaklukan gunung yang menjulang tinggi di langit Wonosobo.

Tepat, minggu pukul 10.00 WIB, 29 Desember 2013 kami berpamitan dengan ibu (Titi Kuswanti), beliau tidak ikut serta dalam perjalanan ini dengan beberapa pertimpangan, salah satunya adalah menjaga ponakan saya (Cassie), anak dari kakak saya. Jadi saya akan melakukan perjalanan menantang ini bersama ayah saya (Hartono), kakak saya (Elisabet), kakak ipar saya (Aria Zabdi), adik saya (Yosia Agil) dan adik saya (Bagus) anak dari paman saya. Dengan persiapan yang menurut saya sudah cukup matang, kami menaiki bus jurusan Wonosobo-Dieng setelah berpamitan dengan ibunda tercinta.

Seturunnya dari bus, kami mencari transportasi setempat yang dapat mengantarkan kami ke jalur pendakian. Jadi dalam keberangkatan ini kami mengambil jalur Sigedang, jalur yang pernah aku lalui sekitar 4 tahun yang lalu. Meskipun memori tentang jalur tersebut sudah samar-samar, tetapi saya tetap merasa mantap dengan alasan bahwa cuaca saat itu cukup cerah, ditambah jalur tersebut baru beberapa minggu yang lalu dilalui oleh pendakian masal, jadi menurut saya bekas jejak mereka masih ada yang tertinggal. Setelah semua barang kami naikan ke atas mobil buntungan, kami segera merapat ke desa Sigedang.



Menantang, menjulang begitu tinggi dengan kemegahan dan keindahan yang ditampilkan oleh gunung Sindoro siang itu. Hal tersebut langsung saja membakar semangat kami. "Ayo kita berdoa dulu, ini awal perjalanan kita" kata ayah saya sesaat kita turun dari mobil untuk melanjutkan perjalanan. "Amin" serentak kami mengamini dan mengimani apa yang menjadi permohonan kami yang disampaikan ayah saya dalam doa.


Satu langkah, dua langkah, tak terasa sudah beberapa langkah kami lalui, menembus kebun teh yang terbentang sejauh mata kami memandang. Butiran keringat mulai bercucuran, panas mulai menyerang, dan lelah tidak dapat dihindarkan. Kakak ipar saya beberapa kali mencoba mengatur irama jalan untuk meminimalisir rasa lelah, ayah saya beberapa kali terlihat sudah ngos-ngosan, adik saya beberapa kali juga sudah menanyakan kapan kami akan sampai, ya, inilah tantangan awal perjalanan, badan yang belum terbiasa akan sangat mudah merasa capai.

Akhirnya kami tiba di rumah-rumahan yang digunakan sebagai tempat mengumpulkan teh saat panen. Ini adalah jalur akhir dari kebun teh, setelah ini kami akan memasuki hutan pegunungan. Tapi kami sempatkan istirahat yang cukup lama di tempat ini untuk melepas beban dan berfoto ria. Oia, sebelumnya dalam perjalanan di kebun teh ini kami menjumpai 4 pendaki yang baru saya turun, dan yang membuat kami cukup tercengang adalah salah satu dari mereka tidaklah memiliki fisik yang sempurna, ia harus menggunakan tongkat untuk membantu melangkah.





Dari pukul satu kami melangkahkan kaki, tak terasa angka-angka di arloji telah menunjukkan pukul 18.00. Terang mulai terusik dengan kegelapan, ya sebentar lagi matahari akan beristirahat, dan bulan akan menggantikannya. Sejujurnya kepanikan mulai menyelimuti benak saya, jika gelap, bagaimana saya dapat melihat jalur pendakian? Tapi saya berusaha semaksimal mungkin menyembunyikan hal tersebut, jika saya panik, bagaimana dengan yang lainnya? Ditambah otot kakak ipar saya yang harus beberapa kali di olesi balsem dikarenakan tegang.

Dengan perlahan kami terus mendaki dan mendaki, satu persatu semangat kami berhasil dikalahkan oleh tantangan alam, adik saya terlihat sudah kehilangan banyak tenaga dan semangatnya, kakak saya yang mulai terserang hawa dingin, dan kakak ipar saya yang masih berkutat dengan otot kakinya. Saya hanya bisa memberikan harapan-harapan palsu dengan mengatakan bahwa puncak sebentar lagi, ayah saya yang membantu dengan tetap tenang dan membantu saya dalam memimpin perjalanan ini. Tapi sepertinya kakak saya sudah tidak kuat dengan terpaan angin yang begitu dingin malam itu, jadi saya putuskan untuk beristirahat di sebuah tempat yang cukup terlindung dari angin, untuk membuka kompor dan memasak air untuk membuat kopi panas. Beberapa perbekalan seperti kelapa dan gula jawa pun sudah habis kami makan sembari kami melawan lelah dan lapar selama perjalanan.

Akhirnya setelah dirasa cukup beristirahat dan kondisi kakak saya sudah sedikit membaik kami langsung melanjutkan perjalanan kepuncak. Saya rasa, kami akan segera tiba di tujuan kami, salah satu atap tinggi di kota Wonosobo. Ya benar saja, kami tiba, kami telah tiba. Perasaan gembira dan lega segera menyelimuti dinding hati saya, bukan karena saya berhasil sampai di puncak, tapi karena saya melihat anggota keluarga saya juga telah sampai di puncak Gunung Sindoro ini. Sungguh tidak dapat saya gambarkan bagaimana perasaan saya saat itu.

Segera kami langsung mencari lokasi yang aman untuk mendirikan tenda kami. Setelah mencari beberapa lokasi, kami memutuskan untuk mendirikan tenda disalah satu tempat yang sepertinya pernah didirikan tenda oleh pendaki-pendaki sebelumnya. "Puji Tuhan" kata tersebut saya ucapkan sembari tangan saya mencoba mendirikan tenda Bestway berkapasitaskan 4-5 orang. Ya bagaimana tidak, tanpa pertolongan tangan Tuhan, saya tidak yakin kami dapat sampai di puncak Gunung Sindoro ini.

Setelah tenda selesai saya siapkan, kakak ipar saya dan kakak saya juga telah menyiapkan santapan makan malam kami, meskipun sudah cukup terlambat, karena saat itu menunjukkan pukul 12.00 malam. Sementara 2 adik saya mencari kayu bakar untuk dibakar oleh ayah saya guna menghangatkan badan kami yang dari tadi dihajar oleh angin yang begitu dingin. Oke, tenda siap, perut telah terisi, badan telah hangat, akhirnya kami memasuki tenda untuk beristirahat. Sebelum tidur, kami bersekutu terlebih dahulu untuk mensyukuri perjalanan yang telah kami lakukan.


30 Desember 2013, wussssshhhh, suara angin yang membangunkan saya, serta rintik hujan yang menetes di tenda kami. Sudah pukul 8 pagi, dan tentu saja rencana kami untuk melihat sunrise dari puncak harus diurungkan. Tapi sepertinya memang kami tidak diijinkan melihat sunrise saat itu, selain kami kesiangan, cuaca di sana juga sungguh ekstrim, jarak pandang kami hanya sekitaran 7 meter saja, dikarenakan kabut yang begitu pekat. Tapi hal tersebut tidak mengurungkan niat kami untuk mengelilingi puncak Sindoro hanya untuk sekedar menikmati keindahan yang telah Tuhan ciptakan.





Setelah itu kami bergegas untuk segera pulang. Kami putuskan untuk pulang dengan jalur yang berbeda, yaitu jalur Kledung, jalur yang lebih sering orang lalui. dengan pertimbangan kemudahan dan pengalaman, karena saya sendiri belum pernah melalui jalur ini. Singkat cerita kami menelusuri jalur bebatuan, padang rumput, dan kamipun tiba di pos ke-3, dimana disana ada beberapa tenda yang digunakan oleh pendaki lain. Waktu sudah cukup sore, kami pun melanjutkan perjalanan kami dan segera memasuki hutan yang awalnya saya kira adalah hutan cemara, tetapi ternyata bukan.



Saat kami sedang berjalan di dalam hutan yang pekat tersebut, tak terasa malam telah tiba, kami pun harus menggukanan alat bantu penerangan untuk dapat melihat jalur kami. Lama-kelamaan kami merasa mulai kelelahan, dan kamipun hanya mengandalkan sisa-sisa semangat kami untuk melanjutkan perjalanan ini. Setelah seakan ujung dari perjalanan kami tidak nampak-nampak, kami disambut oleh riuh cakap beberapa orang yang menyalakan klakson motor. Setelah kami berhasil mendekat, ternyata mereka adalah sekumpulan tukang ojek yang memang menunggu pendaki-pendaki dalam perjalanan pulang. Setelah sepakat dengan harga, kami pun segera bergegas menuju Kledung pass untuk mencari bus menuju Wonosobo.

Singkat cerita kami sampai di rumah kami pukul 9 malam, sungguh perasaan syukur yang begitu besar kami ucapkan, kami panjatkan, perjalanan ini boleh kami alami, dan kami boleh kembali dengan kondisi selamat. Bagi saya ini adalah pengalaman yang begitu berharga dan tidak akan terlupakan, kebahagiaan itu tidak perlu mahal, kami tidak perlu menyewa hotel megah, cukup sebuah tenda sederhana dapat mengisi gelak tawa dalam benak kami. Hal yang paling membuat saya terkesan adalah saya melakukan bersama anggota keluarga saya, menurut saya ini adalah kado natal yang sangat istimewa, belum pernah saya merasakan kedekatan baik secara fisik maupun rohani seperti ini. Hari itu pun kami habiskan bersama di sebuah pemandian air hangat di salah satu daerah di Wonosobo.

Kebahagiaan ini terbungkus rapi dalam sebuah kesederhanaan, rasa syukur ini terucap tanpa henti mengetahui bahwa kami bukanlah siapa-siapa. Ketinggian saat itu menyadarkan kami bahwa kami memang terlampau kecil, terlampau tak berharga dan serasa tak berguna, maka untuk apa kami harus bermegah dan menyombongkan diri? Hanya penyertaanNya dan kasih setiaNya yang membuat hidup kami berarti. Ini membuat saya sadar, bahwa tidak ada hal yang lebih dapat membuat saya tenang dan bahagia selain keluarga saya itu sendiri. Terimakasih bapak, mbak Elis, mas Asa, Agil, Bagus, buat pengalaman perjalanan menaklukkan gunung Sindoro, terimakasih telah memberi arti dalam liburan saya saat ini.

salam
the sleeper.

No comments:

Post a Comment