Monday, February 17, 2014

Sebuah Impian yang Harus Terhalang Gagahnya Alam

Sebuah pengalaman yang sedikit banyak memberi arti pada kehidupan singkat ini. Kisah tentang impian, tentang persahabatan, tentang sebuah cita berdiri di lantai tertinggi pulau Jawa.

Tepat hari pertama pada tahun 2014 saya mencoba membuka mata pukul 9 pagi waktu setempat. Masih sungguh berat rasanya mengingat sedikitnya waktu untuk istirahat yang terampas kebahagiaan berkumpul bersama teman-teman di sebuah gedung yang tak lain adalah rumah kedua saya saat dulu, Bina Kasih. "Bro, jangan lupa nanti kita futsal jam 12 di Samba" dengan mata yang sebenarnya masih cukup lekat, saya mencoba untuk membaca sms dari salah satu teman saya.

Singkatnya saya mendapatkan panggilan telepon dari Ela saat saya sedang di lapangan futsal. Ia adalah salah satu teman dekat saya. Ia hendak memberitahukan bahwa ia akan segera merapat di kota Wonosobo sore hari nanti. Sedangkan Jay baru akan bergabung esok paginya dengan Ias dengan menggunakan bus Sinar Jaya dari Tangerang. Terakhir adalah Eli yang baru akan merapatkan diri di kota Wonosobo pada tanggal 2 sore harinya. Kita berlima berencana akan melakukan perjalanan panjang ke daerah Jawa bagian timur untuk menapakkan kaki di salah satu puncak tertinggi.

Dua Januari 2014 semua telah berkumpul di rumah saya pada sore harinya. Saat itu kita gunakan kesempatan tersebut untuk melakukan pengecekan perlengkapan dan logistik yang akan kita gunakan untuk melakukan perjalanan menaklukkan puncak tertinggi pulau Jawa. Kita juga ditemani oleh salah satu teman baik saya yang berdomisili di Wonosobo untuk membantu kami layaknya seorang sekretaris, ia adalah Ria. Kita bekeliling kota untuk mempersiapkan segala sesuatunya sematang mungkin. Dari administrasi seperti Surat Keterangan Sehat, materai, hingga tas carrier, tenda, logistik dan lain-lainnya.

Malam harinya setelah semuanya telah lengkap, kami pun memastikan tidak ada satupun perlengkapan kita yang tertinggal. Ias mencoba menghubungi pihak TNBTS (Taman Nasional Bromo Tengger Semeru) dengan HP canggihnya. Yap, rasanya semua telah terbungkus rapi, semua telah siap. Kamipun pergi mengistirahatkan badan kami untuk mempersiapkan fisik kami esok hari.



Tiga Februari 2014, rasanya kami terlambat untuk bangun, saya dan Jay memang telah bangun sekitaran pukul 6 pagi, itu saja saya bangun dikarenakan harus pergi ke pasar pagi untuk memenuhi beberapa logistik yang kurang dan untuk mencari sarapan. Sekitaran pukul 10.00 kami telah siap dengan semuanya, kita pun berpamitan dan segera berangkat ke tanah timur.

Perjalanan yang kami lakukan adalah pertama menuju terminal Wonosobo, disana kami akan menukar tunggangan kami dengan sebuah bus yang lebih besar lagi. Seperti kondisi terminal pada umumnya, beberapa calo langsung mendekati kami dan membujuk kami menggunakan bus yang mereka sarankan. Saya hanya mengangguk tak merespon, ya karena saya tahu kondisi terminal kota dimana saya dibesarkan. Sekitar pukul 10.30 kami memutuskan menaiki sebuah bus tujuan Magelang, dengan kesadaran bahwa waktu kami tidak banyak lagi, rencana sampai di Malang malam hari sepertinya urung tercapai. Sesampainya di terminal Magelang kita menggunakan bus lain untuk menuju kota Jogjakarta.






"Bus ke Malang habis semua bro, tinggal tersisa beberapa kendaraan tambahan dengan tarif diluar anggaran kita tentunya" kata saya kepada teman-teman seusai melakukan survey tiket bersama Eli. "Oke deh, seperti rencana kita kedua, kita akan menuju ke Surabaya terlebih dahulu", kata Eli yang dari tadi telah membaca catatan perjalanan di internet. Bus "Eka" pun menjadi pilihan kami yang akan mengantarkan ke tujuan kami, Surabaya. -- Kamipun mendaratkan kaki kami di Surabaya sekitar pukul 1 dinihari, yang berarti sekarang sudah tanggal 4 Januari 2014. Tidak perlu waktu yang lama untuk menunggu kedatangan bus dengan tujuan terminal Arjosari, Malang.

Terminal Arjosari, Malang, 4 Januari 2014, 05.00

Belum genap pukul 4 pagi itu kami telah sampai di terminal Arjosari. Segera beberapa orang telah menyadari tujuan kami, yang langsung menawarkan harga mobil dengan harga yang tidak wajar. Kamipun memilih untuk menggunakan angkot dengan tujuan Tumpang seperti hasil catatan kami. Kami harus berjalan sedikit keluar dari terminal untuk mendapatkan Angkot putih ini, dan tak lama setelah itupun kami langsung meluncur menuju Tumpang. Pembicaraan dengan pak sopir mengantarkan kami ke sebuah rumah yang memang sudah biasa menjadi settle para pendaki tujuan puncak tertinggi Jawa tersebut.

Dari pembicaraan yang cukup alot antara kami dengan sang pemilik jasa transportasi truk tersebut akhirnya membuahkan hasil bahwa beliau tetap bersedia mengantarkan kami dengan segala resiko yang ditanggung oleh kami yang memang ngotot. Hal tersebut dikarenakan beliau mendapatkan info bahwa jalur pendakian Ranupani sudah di tutup sejak tanggal 3 kemarin. Di dalam truk tersebut kami tidak hanya berlima, ada 2 teman kami dari daerah Jawa Timur juga yang bertujuan ke Ranu Kumbolo dalam rangka menyusul teman-temannya yang telah berangkat beberapa hari sebelumnya. Kamipun cepat akrab dengan mereka yang terbukti dari interaksi foto-foto kami dan tukar menukar informasi.







Yap, memang apes, memang masih kurang beruntung, apa yang kami cita-citakan, melakukan pendakian untuk menaklukkan lantai tertinggi di tanah Jawa tersebut harus diurungkan karena jalur pendakian Ranupani telah ditutup. Coba beberapa alternatif pun tetap menggagalkan cita-cita kami tersebut. Oia, disana kami tidak hanya ber-7 saja yang merasa 'tertipu' oleh info di internet yang mengatakan bahwa penutupan dilakukan tanggal 6, kami juga bersama dengan beberapa rombongan lain yang datang bukan dari tempat yang dekat, ada yang dari Jakarta, Jawa Barat, Jogjakarta, dll.

Setelah merasa impian kami terenggut oleh ganasnya alam dan disiplinnya pengelola setempat, kami hanya mampu merenung mencari alternatif lain yang masih mungkin dapat kami lakukan. Keputusan itu pun akhirnya jatuh untuk melakukan camping di lembah sekitar Gunung Bromo, 2.392 mdpl. Beberapa rombongan lain yang senasib dengan kitapun akhirnya memutuskan untuk ikut bersama kita melakukan perjalanan ke lembah Bromo. Jadi total orang yang berencana menuju Bromo bersama-sama berjumlah 11 orang, dan hampir semuanya berasal dari Jakarta. Perjalanan ini kami lakukan untuk menutupi kekecewaan kami yang tidak dapat merasakan ganasnya alam Semeru. Meskipun serasa di dalam hati meluap-luap dendam yang kelak tekat kami tetap akan menaklukkan lantai tertinggi tanah Jawa ini.


Truk yang semula mengantarkan kami menuju Ranu Pani pun berbalik mengantarkan kami menuju lembah Sabana, langakah awal kami menuju Gunung Bromo. Yap, administrasi telah kami lakukan, kami siap melangkahkan kami ke kaki Bromo untuk membuka tenda disana. Mata kami langsung terbuka lebar, hati kami tak hentinya heran dan mengucap syukur atas bentangan alam yang telah Tuhan ciptakan. Begitu indah, begitu mempesona, seperti yang kami biasanya lihat di layar kaca, tapi ini kami melihatnya dengan mata kepala kami. Bentangan sabana dengan tebing bebatuan yang diselimuti oleh malu-malu awan. Begitu mempesona, begitu indah hingga membuyarkan tentang cerita cita menuju Semeru.





Menurut informasi yang kami dapatkan, kami hanya perlu berjalan sekitar 2 jam, namun ternyata kami membutuhkan waktu 4-5 jam, yang di dalamnya sudah termasuk kami tersesat di gunungan-gunungan pasir karena saat itu telah mulai petang. Sebenarnya ketakutan dan kekuatiran sudah menyelimuti diri kami masing-masing, karena tujuan kami hanya seperti bayangan yang selalu menghindar saat kami berusaha mendekatinya. Setelah melakukan beberapa manufer serta mengandalkan jejak motocross yang ada, akhirnya kami sampai di tanah lapang dan terus mendekat ke sebuah perkampungan. Namun akhirnya kami memutuskan untuk membangun tenda kami di tempat yang telah kami sepakati dengan beberapa pertimbangan seperti kelelahan dan waktu yang sudah cukup larut.

Setelah tenda telah siap, kamipun memasak makan malam untuk mengisi perut yang telah kosong sejak siang tadi. Sesudah dirasa kenyang, akhirnya kami memutuskan untuk memasuki tenda untuk mengistirahatkan badan yang sudah diselimuti lelah. Namun, sebelumnya kami meluangkan waktu untuk melakukan persekutuan, sebuah kewajiban yang mungkin terlihat naif, tapi memang ini tanggung jawab kami. Dalam pembicaraan dan sharing tersebut kami telah memutuskan dan berjanji satu sama lain membuat langkah perubahan di tahun yang baru ini. Persahabatan kami yang dulunya hanya sekedar teman bersenang-senang saja ingin kami ubah ke arah yang lebih positif, kami ingin bertumbuh bersama-sama. Ias yang tidak seangkatan dengan kami alias adik kelas, akhirnya mau tidak mau dengan rasa mengantuk tetap berusaha mendengarkan perbincangan kami yang memang arahnya serius. Memang seperti layaknya pendaki-pendaki lainnya, momen yang cukup berkesan adalah saat badan yang sudah berselimut lelah namun tetap hati dan mulut menuturkan perasaan yang ada bertukar pandang satu sama lain, mengukir cita dan asa bersama-sama.



Esok harinya pun Jay, Ela, Ias dan Eli pun melakukan perjalanan ke kawah Bromo, saya memilih tetap di dalam tenda dengan pertimbangan saya pernah ke sana dan juga akan lebih efektif saya di dalam tenda untuk menyiapkan makan pagi buat kita. Dengan demikian waktu akan lebih efisien dan kami dapat meninggalkan lembah Bromo sebelum petang datang. Setelah packing kami berfoto sebagai kenangan yang akan selalu kami jaga.







Perjalanan kami lanjutkan, terminal Probolinggo adalah tujuan kami, karena dari sana kami akan mendapatkan bus dengan tujuan Surabaya maupun Malang, dan kamipun memilih Surabaya. Di terminal Probolinggo pun menjadi tempat dimana kami harus berpisah dengan rekan-rekan kami dari Jakarta. Mereka berencana singgah ke Malang terlebih dahulu, menemui rekan yang ada disana. Setelah berpamitan kami menggunakan bus kelas Ekonomi dengan tujuan Surabaya. Bus melaju cukup kencang menembus hujan saat itu, mengantarkan saya dalam buaian tidur yang cukup dalam.

Di terminal Surabaya, kami sempat bingung kota Semarang atau Jogjakarta yang menjadi tujuan kami berikutnya, tapi akhirnya keputusan jatuh ke Semarang dengan beberapa pertimbangan yang telah kami sepakati. Di terminal Surabaya kami memasak makan malam di tepian jalan yang dikarenakan kondisi finansial kami yang telah sangat minim.

Singkat cerita kami pun sampai di kota Semarang subuh harinya, yang kemudian kami memesan bus executive tujuan Wonosobo yang baru akan berangkat sekitar pukul 8 pagi itu. Selamat tinggal Semarang, selamat tinggal Surabaya, selamat tinggal Probolinggo, selamat tinggal Malang, Ranu Pani, Semeru, Bromo. Kelak kami akan kembali, dan kami akan menaklukkan ganas dan kemegahanmu. Hasrat kami masih kami simpan rapi, kami siapkan untuk perjalanan nanti.

Perjalanan ini memberi banyak arti di awal tahun 2014 ini, bukan hanya sebuah pandangan dalam memandang kegagalan, namun banyak hal yang lebih besar lagi. Seperti betapa pentingnya sahabat yang ada, betapa pentingnya menjaga mimpi tetap ada, betapa pentingnya perubahan dan keberanian, betapa pentingnya menjaga keindahan alam ciptaan tangan Sang Kuasa, betapa pentingnya memberi arti dalam kehidupan yang singkat ini. Semoga kelak kami akan kembali, membawa mimpi yang sama, hanya saja kami akan malampauinya. Hanya perlu 'believe' dalam melakukannya, mewujudnyatakan setiap impian yang ada dalam indah bungkusan persahabatan.

No comments:

Post a Comment