Thursday, August 1, 2013

Efektivitas Orientasi Pembangunan Pada Era Orde Lama, Orde Baru dan Pasca Reformasi

Berbicara mengenai pembangunan ekonomi, setidaknya kita memahami terlebih dahulu strategi pembangunan ekonomi. Menurut Paul Streeten, dalam pembangunan ekonomi ada dua orientasi kebijakan pembangunan ekonomi yaitu ‘berorientasi ke luar’ dan ‘berorientasi ke dalam’. Kebijakan pembangunan ekonomi yang ‘berorientasi ke luar’ adalah rangkaian kebijakan yang memiliki fokus utama dalam hal berlangsungnya perdagangan bebas. Sedangkan ‘berorientasi ke dalam’ adalah rangkaian kebijakan yang lebih menekankan akan pentingnya usaha negara demi terwujudnya pembangunan mandiri. Dari kedua penjelasan orientasi tersebut, terlihat bahwa terjadi perubahan dalam orientasi pembangunan di Indonesia, tepatnya pada era kepemimpinan Soekarno menuju Soeharto hingga pasca reformasi.

Pada era kepemimpinan Soekarno lebih condong berusaha untuk membangun perekonomian negara secara mandiri setelah proklamasi kemerdekaan. Orientasi kerjasama dengan tidak bergantung pada pihak asing atau anti bantuan asing terutama bangsa Barat membuat kreditor dan investor asing merasa jera akibat sikap Soekarno tersebut. Dalam menentang pendekatan kembali dengan Barat, Presiden Soekarno dalam pidatonya 1 September memperingatkan bahwa “nilai kemerdekaan yang paling tinggi adalah berdiri di atas kaki sendiri” dan karena itu tidak boleh “meminta-minta” dalam usaha merehabilitasi ekonomi (Mas’oed, 1989:76). Jadi, orientasi pembangunan ekonomi pada era Soekarno lebih ke arah ‘orientasi ke dalam’. Strategi ekonomi ‘berorientasi ke dalam’ lebih mengedepankan usaha memperkuat masyarakat bisnis pribumi, sedangkan bantuan dan investasi asing dimanfaatkan dengan cara yang sangat hati-hati. (Mas’oed, 1989:95).

Kepemimpinan Soekarno yang menjadikan “politik sebagai panglima” bagi kaum developmentalis dinilai tidak berhasil dalam membangun perekonomian Indonesia hingga menimbulkan krisis ekonomi. Ketika Presiden Soekarno lengser dan tergantikan oleh Soeharto, terjadi pergeseran “panglima” yaitu menjadi “ekonomi sebagai panglima”. Kenyataan bergesernya konsentrasi ‘kepanglimaan’ di Indonesia tidak lain disebabkan kekecewaan banyak kalangan terhadap Sosialisme ala Indonesia versi Soekarno. (Mas’oed, 1989:60). “Bersamaan dengan runtuhnnya rezim Soekarno, hilanglah slogan ‘politik sebagai panglima’ yang dicanangkan oleh para pendukung rezim itu, dan muncullah slogan baru: ‘ekonomi sebagai panglima’ yang diciptakan oleh para pembuat pendapat umum yang sebelumnya ditindas oleh rezim tersebut.” (Mas’oed, 1989:62).

Orientasi pembangunan era Soeharto menginginkan perlunya stabilisasi, rehabilitasi dan pembangunan ekonomi gaya kapitalis serta lebih condong ‘berorientasi ke luar’. Strategi ekonomi ‘berorientasi ke luar’ akan lebih mengarahkan diri untuk melakukan pembangunan ekonomi Indonesia dengan memanfaatkan sumber-sumber luar negeri. (Mas’oed, 1989:94). Akan tetapi, pimpinan baru itu mendapatkan kendala dalam memperoleh dukungan dari berbagai pemerintah kapitalis asing dan masyarakat bisnis internasional. Kenyataannya bahwa, karena dikecewakan Soekarno setahun sebelumnya, pemerintah asing dan masyarakat bisnis luar negeri itu sangat berhati-hati dalam memberikan kredit baru kepada rezim baru tersebut. (Mas’oed, 1989:62). Akibatnya, ‘kapitalis semu’ lah yang mengindikasikan Indonesia saat itu. Kesepakatan tentang tujuan stabilitasi dan pembangunan ekonomi—menurut garis kapitalis itu—pecah ketika sampai pada tahap penerapan. Orientasi ke luar tersebut justru menimbulkan kekacauan dari dalam negera sendiri. Para ahli ekonomi tersebut menganggap kekacauan ekonomi bermula dari dalam. Yang dianggap sebagai penyebab utamanya adalah: 1. Defisit anggaran pemerintah yang selalu meningkat; dan 2. Ekspansi kredit bank secara cepat. Masa Orde Baru sangat dipenuhi dengan ke’tidaksehat’an dalam badan pemerintahan. “Indonesia’s reputation as a “high-cost economy” reflected the endemic nature corruption.” (Booth, 1999:143).

Model orientasi ke luar hingga saat ini masih dipertahankan dalam era pasca reformasi sehingga menimbulkan efek ketergantungan terhadap pihak asing.

Berikan tanggapanmu mengenai hal tersebut.

Referensi:
Booth, Anne. 1999. Development: achievement and weakness, dalam Donald K. Emerson (ed.)
            Indonesia Beyond Soeharto. New York: M.E Sharpe, inc. pp: 109-165

Mas’oed, Mochtar. 1989. Stabilisasi dan pembangunan ekonomi yang berorientasi ke luar,
           dalam ekonomi dan struktur politik Orde Baru 1966-1971. Jakarta: LP3ES. Pp: 59-126
sumber: awinditya-paresti-fisip12.web.unair.ac.id

No comments:

Post a Comment