Tuesday, August 13, 2013

Cerita Cita dari Berhala

Tahun 2013, mungkin bisa menjadi salah satu tahun paling bersejarah dalam hidup ini. Banyak kejadian yang tidak disangka terjadi dalam tahun ini, apa gara-gara kiamat ngga jadi di tahun 2012, jadi tahun ini seperti aneh? hahaha, aku tidak percaya akan hal itu. Tapi sejujurnya, memang banyak kejadian terjadi dari awal tahun hingga pertengahan tahun sekarang ini. Dari kejadian yang menyenangkan, menyedihkan, mengesalkan, membingungkan. Memang pasti semua berpikir, kejadian dengan kategori seperti itu kan setiap orang merasakannya kapan saja. Tapi bagi aku tahun ini adalah puncak, tahun ini memiliki arti khusus bagi the sleeper.

Disini aku tidak akan banyak cerita mengenai apa yang telah terjadi sepanjang tahun ini, cukup aku menceritakan cita apa yang telah aku buang ke Berhala. Lebaran yang menjadi spesial, bukan karena bisa bertemu dengan sanak saudara, namun karena lebaran tahun ini menjadi Lebaran pertama aku bebas dari opor, macet, deruh petasan dan yang paling memeras hati adalah lebaran tahun ini aku tidak dapat berkumpul dengan sanak saudara di kampung halaman, ya ini menjadi pengalaman pertama aku.

Ini yang disebut biaya peluang dalam ilmu Ekonomi, aku mengambil kesempatan ini untuk berlibur bersama teman-teman seperjuangan aku di Jambi. Tempat tujuan liburan kami adalah satu pulau di timur Sumatera, sebuah pulau kecil yang contravention karena nama dan statusnya. Pulau Berhala, itulah namanya dan alasan lainnya adalah karena pulau ini sempat menjadi sengketa masalah kepemilikan Kepulauan Riau atau Provinsi Jambi. Namun bukan hal itu yang menarik perhatian kami, keindahan pantainya yang mengantarkan hasrat kami ke pulau tersebut.

Melalukan persiapan dengan memenuhi kebutuhan logistik kami di Trona, salah satu tempat perbelanjaan di Jambi menjadi aktivitas pertama kami setelah melakukan kesepakatan dengan sang pemandu wisata kami, pak Yansen. Yap, semua logistik telah terpacking rapi di tas avtech backpacker 40ltr. Selanjutnya persiapan peralatan dokumentasi, dari kelengkapan kamera, memory card, dan charger baterainya. Akhirnya waktu telah mengantarkan kami pada malam hari sebelum keberangkatan kami. Ya, besok kami akan melakukan perjalanan, yang akan menjadi pengalaman pertama bagi kami.

***

Tak terdengar kokok ayam pagi itu, ya memang seperti biasanya tidak ada ayam disekitaran kontrakan kami. Pukul 6.30 tepatnya ketika aku baru terjaga dari tidurku oleh suara teman-temanku yang telah selesai berbenah. "whats, udah jam segini dan aku baru terbangun?" batinku. Ya karena memang jam segitu seharusnya kami telah bertemu dengan pak Acok sang driver yang akan mengantarkan kami ke Kampung Laut dimana kapal yang akan membawa kami berlabuh. Sedikit cepat mengoleskan sabun ke seluruh badan, dan akhirnya tidak lebih dari 10 menit aku menyelesaikan mandiku pagi itu.

Akhirnya pagi itu, sekitaran pukul 7 kami keluar dari kontrakan kami dan menunggu mobil jemputan kami. Tidak lama menunggu kami mendapatkan telpon dari bapak Acok yang mengkonfirmasi bahwa beliau sudah berada di lokasi penjemputan. Sedikit berjalan keluar pagar, kami menjumpai beliau dengan Kijang LGX yang aku kira-kira tahun 99an. Tak lama berbasa-basi, kami langsung saja meluncur ke Kampung Laut yang tidak lain adalah kampung tempat pak Acok berdomisili.

Sempat tegang karena takut jadwal kapal tidak dapat kami capai dalam waktu 2 jam kedepan, kami sedikit disantaikan dengan udara segar dan obrolan ringan dengan Pak Acok. Selain itu beberapa kue juga menemani kami mengisi perut yang belum terisi apa-apa pagi itu. "Ini aku sedang berjalan menuju ke pulau tersebut? benarkah? bukan mimpi ini kan?" pikiranku melayang-layang membayangkan pengalaman pertama bepergian ke pulau kecil dengan pantai yang indah. Ya semua berbaur manis, hingga mengantarkanku pada tidur singkat pada perjalanan tersebut.

Ternyata tidak lebih dari 2 jam perjalanan kami, Pak Acok tepat mengantarkan kami sampai di Kampung Laut pukul 9 pagi itu. Ya beliau langsung saja menghubungi pak Rahman yang tidak lain adalah Captain kapal sekaligus sang pemilik kapal. Untunglah, kapal masih berlabuh dan masih bersiap-siap untuk melakukan perjalanan, dan kami pun belum terlambat. Disana terlihat beberapa rombongan yang sepertinya akan melakukan perjalanan yang sama dengan kami ke pulau kecil tersebut. Sedikit ramah tamah dengan pemilik warung dimana kami singgah, kami di antarkan menuju ke pelabuhan menggunakan ojek, hal tersebut dikarenakan mobil tidak diijinkan melewati jalan yang hanya berdiameter sekitar 3 meter tersebut.

***

"Inikah tempat dimana aku akan melakukan perjalanan? Betapa pemandangan ini sungguh memanjakan mataku? Terimakasih ya Tuhan...."

"Aihh,,,, mengapa pikiran itu terlintas, mengapa bayangannya muncul dalam bisikan deru angin pantai siang itu? Pergilah, aku takut untuk merasakannya..."

Fiuh, beberapa jam kami menunggu kapal siap untuk diberangkatkan, akhirnya kami dapat menaiki kapal speed boat yang akan mengantarkan perjalanan kami. Pukul 13.30 kami ada diatas kapal, yang ternyata belum berangkat juga karena ada beberapa dari penumpang kapal yang tidak berani menuruni tangga dermaga yang memang cukup curam berpondasikan kayu dari batang kelapa maupun pinang. Setelah melakukan banyak percobaan, akhirnya kapal berlabuh di dermaga yang berbeda agar penumpang tersebut dapat dinaikkan keatas kapal. Akhirnya kami meluncur, betapa mengagumkannya pengalaman saat itu, terhempas angin muara, termanjakan lukisan awan putih di langit yang biru. "Aaaaaa" Aku berteriak entah kenapa, hanya ingin saja. "Bukan, bukan karena bayangan tadi, aku harus meyakinkan hati ku ini."

"Tolak-tolak . . . . balik . . . angkat mesin cepat" gemuruh para awak kapal. Aku yakin ada sesuatu terjadi, benar saja, ternyata karena hanya ingin melalui jalur yang lebih cepat kami justru terjebak di lautan dangkal lautan penuh lumpur yang bisa membuat mesin kapal kami rusak. Akhirnya berkat pengalaman para awak kapal yang telah biasa menghadapi hal tersebut, mereka berhasil meloloskan kapal dari lautan lumpur berlahan. Bahkan ada satu awak kapal yang turun dari kapal untuk mendorong kapal keluar dari jebakan lumpur. Ternyata hanya sekitaran 30cm saja ketinggian air di daerah tersebut.

Setelah berhasil lolos berkat kerjasama dari para awak kapal, kami pun mengambil jalan memutar untuk menghindari kejadian serupa terjadi lagi.

"Kapal ini melajukah? Kapal ini bergerakkah? Anginnya kencang menyapu mukaku, anginnya tenang menghantam detak jantungku" Imajinasiku bermain, pikiranku melayang, aku diatas kapal, aku sedang menantang lautan. "haha" tawa ku dalam hati untuk alasan yang aku sendiri tidak tahu.

Berbincang dengan seorang pemuda yang bernama Eboy membawaku pada pada obrolan yang jauh lebih dalam. Hidupnya tidak jauh dari pantai dan petualangan, hal tersebut yang membuatnya mengenal dan dikenal oleh banyak orang-orang yang berada di kapal tersebut.

"Ayo, kita coba duduk di depan, sensasinya akan lebih terasa." katanya kepadaku.
"Benarkah?" jawabku singkat.

Singkat cerita, dengan badan yang tetap merunduk aku berjalan merangkak menuju ujung depan kapal speed boat. "Waaaw, anginnya, sensasinya, pemandangannya, aku belum pernah merasakannya." Batin ku berteriak seolah sangat dimanjakan oleh segala ciptaan Tuhan yang terbentang di depanku saat itu. "Indahnya. . . Aih, kenapa, kenapa tiba-tiba bayangan itu seperti terlukis di bentangan langit biru itu? Tidak, aku tidak sedang memikirkannya, biarlah hanyut terbawa deras angin yang menghempas kami saat itu."

Tiba-tiba teringat film Life of Pie, ya tepat dibagian ketika banyak ikan terbang atau ikan apalah itu namanya, yang melompat-lompat banyak menerjang badan si Pie dan harimau di kapal yang sedang terombak-ambik ditengah lautan. Gambaran itu muncul seketika ada seekor ikan yang sedang melompat-lompat menyambar punggung kapal kami. Tidak lama setelah itu, terlihat beberapa ikan melompat-lompat di tempat yang berbeda-beda.

"Oh, Tuhan, apa yang sedang aku lihat ini? Apa memang ini terbentuk begitu saja? karena benturan-benturan batuan luar angkasa? Aku ngga percaya hal itu, ada Penciptanya, aku yakin, begitu Indah, begitu teratur pasti ada perancangnya."

***

Tidak lama setelah itu terlihat samar kapal-kapal tanker yang besarnya tidak diragukan lagi sedang berlabuh di tengah laut. Ternyata memang pelabuhan mereka berada di tengah lautan, bentangan besi-besi tertanam kokoh di tengah laut untuk menjadi persinggahan kapal-kapal tersebut. Besarnya, tidak dapat aku bayangkan, samar-samar terlihat tower signal yang tingginya saja tidak dapat dibandingkan dengan panjang kapal tersebut. "Ya, ini pertama kali aku melihatnya dengan mata telanjang."

"Fiuuuuu.... ku hirup udara laut kala itu, mengantarkan aku pada sedikit pemikiran, betapa kecilnya aku ini, betapa tidak berharganya aku ini."

Gemericik air laut kala itu sungguh mempesona, terkadang terlihat begitu dangkal, terkadang terlihat begitu tenang, sungguh sangat memanjakan. Bahkan pada beberapa bagian kami dapat melihat pertemuan antara kedua arus laut yang berlawanan, membentuk seolah batas kekuasaan dari masing-masing kubu. "Brank" terlihat laut mulai menunjukkan kebolehannya, ombak sekitar 1 meter bertubi-tubi kami hantam. Membuat sensasi menghadangnya di atas depan kapal bertambah, ya cukup menegangkan.

Tapi selesainya kami menghadapinya, terlihat jelas oleh mataku, beberapa pulau yang terbentang di depan sana. Salah satunya adalah pulau tujuan kami, yang di temani oleh beberapa pulau sebagai pendamping di sekitarnya. "Ahhh, pantainya, ombaknya, pasirnya, pohonnya, kenapa? kenapa mengantarkan aku pada memori saat itu? Kenangan indah yang boleh aku rasakan di tempat dan waktu yang berbeda"

"Puji Tuhan" hati mengucap syukur, kami boleh berlabuh dengan selamat tanpa terjadi sesuatu menimpa kami. "Haaaahaaaa, ini dia tujuan kami" Betapa muka capai yang bercampur dengan bahagia terlihat dari sebagian besar dari kami. Bagaimana tidak, masih di pelabuhan saja kami sudah dimanjakan oleh lukisan alam yang begitu indah terhempas di depan kami. "Nanti aku harus kesana, harus kesana, harus kesana" batinku selagi menyiapkan kamera genggamku untuk segera mengabadikan momen berharga tersebut.

"Bro, ayo kita cari pak Edy dulu, pastikan tempat tinggal kita dulu, aku tahu rumahnya." teriak Eboy dari pinggiran dermaga kayu. Pak Edy adalah orang asli pulau itu yang menyediakan persewaan rumah untuk kami singgah. Sepertinya memang beliau cukup terkenal disana, selama perjalanan tadi beberapa kali aku mendengar nama beliau di perbincangkan, mungkin karena memang beliau berhubungan dengan tempat singgah kami. "Yook, aku ambil tas ku dulu sebentar." jawab ku singkat selagi mencari tas dan mengabadikan momen disana.

***

"Dermaga ini, aiiihhh, ada apa? kenapa dengan pemandangan yang indah ini? sepertinya mengantarkan pada suatu ingatan tentang lukisan yang hampir sama. . . Tidak, aku ingin menikmati pulau ini, aku ingin bersenang-senang bersama teman-teman."

"Ko, ini pak Edy" kata Eboy singkat ketika ia telah selesai berdiskusi mengenai penginapan yang rombongannya akan gunakan.

Singkat saja diskusi dengan pak Edy, membuat saya mengetahui bahwa penginapan sudah penuh. Memang saat itu pulau kecil itu terlihat sungguh padat yang berdatangan dari banyak penjuru. Apa boleh buat, aku harus lekas menjemput teman-teman ku untuk mengetahui hal tersebut.

***

Namanya Satria, seorang pemuda blasteran, salah satu teman terbaik yang pernah aku miliki sepanjang masa hidupku ini. Memang baru mengenalnya sekitar 3 tahun belakangan, tapi aku rasa waktu tidak dapat menjadi satu-satunya ukuran tentang arti dari persahabatan. Terlihat badannya yang kurus sedang membantu teman-temanku menaikkan barang-barang dari atas kapal ke atas dermaga. Disana ada Tisa, Icha, dan Nala, ketiga wanita yang ikut bersama ku melakukan perjalanan ke pulau ini.

Wajah ketiganya tidak bisa ditutupi bahwa mereka sangat mengagumi apa yang telah Tangan Tuhan goreskan di pelataran bumi bagian timur ini. "Indahnya. . ." Rasanya berat memberi tahu kondisi mengenai kenyataan bahwa penginapan telah penuh terisi. Ya akhirnya aku hanya berjalan mengarahkan mereka ke kediaman pak Edy. Sesampainya disana, kami langsung saja mengisi perut kami yang sejak tadi pagi belum terisi oleh butiran-butiran nasi. "Guys, sepertinya malam ini kita akan kesulitan tempat untuk tidur, penginapan sudah penuh." Kalimat singkat itu yang mampu aku ucapkan. Ya, sudah kuduga, mereka pasti mengalami kekecewaan mengenai hal tersebut. "Loh, kita kan udah booking? kita kan udah pesan jauh-jauh hari?" Pertanyaan-pertanyaan itu yang balik muncul. Namun mau bagaimana lagi, kondisi disana tidak seperti apa yang ada di bayangan kami.

"Bang, untuk nanti malam tidur di ruang dekat aula dulu ya, malam berikutnya baru di rumah depannya" kata pak Edy dengan ramah. "Oke pak, mau bagaimana lagi." Akhirnya kami menuju tempat dimana kita bisa meletakkan barang-barang. Sejujurnya karena kami sudah tidak sabar untuk melakukan perjalanan mengelilingi pulau indah ini.

"Let's move, move, move." Nada seperti di adegan-adegan film perang menggaung di ruangan yang hanya berukuran 3x2,5m tersebut. Kami akan melakukan petualangan kami di pulau ini. Pasir putihnya, suara merdu ombaknya, teduh pepohonannya, biru lautan dan langitnya. Kami sudah tidak sabar untuk menikmatinya. Setelah mengganti pakaian kami, mempersiapkan kamera kami, langkahpun seperti berjalan sendiri, terpanggil oleh rayuan daun-daun kelapa yang bertengger kokoh di jajaran pantai berpasir putih.

"Inikah? Benarkah? Indahkah? Aih, lembut anginya, panas teriknya, kenapa? Bayangannya...." Tidak dapat kuusir bayangan yang dari tadi mengusik hati ini. Suasananya mengantarkan pada kenangan manis yang telah terkubur dalam, karena tindak kebodohan, dan kerasnya tembok ego. Ku sempatkan membuka telpon pemberian kakakku, mencari namanya, lalu menghubunginya. Yakinkah aku dengan apa yang aku lakukan saat itu, namun semuanya seolah terjadi untuk hal itu.
"Hallo? lagi dimana?"
"Puncak"
-------------- entah apa yang harus aku tulis untuk menggambarkan kesunyian dan ketenangan saat itu, seolah waktu berhenti dan terfokus pada pikiran yang meluap-luap ini, tersiram panas oleh kenangan yang membayang tadi. Ya, pantai dan puncak, kedua tempat yang sangat bertolak belakang, tapi sejujurnya kami pernah melaluinya dalam hari yang sama. Sudahlah, itu sudah berlalu, biarlah dia bahagia dengan dunianya, tidak terusik dengan manusia aneh sepertiku, yang tidak bisa membahasakan sesuatunya.

Terlihat samar-samar dalam lamunanku, Satria yang sudah saja bermain air laut, selain itu Tisa yang sedang mencoba berfoto-foto dengan Nala dan Icha. Ya langsung saja aku menyadarkan diri untuk segera menikmati betapa indahnya apa yang sedang berada di depan ku ini. "Bro, itu ada Eboy dan kawan-kawan disana, ayo kita berenang di sebelah sana."

Menikmati keindahan ini membuat badan ingin bersantai, berbaring di pelukan teduh pepohonan dan ramah angin segar. Namun sedang asik-asiknya menikmati suasana santai tersebut, tiba-tiba saja nala menutupi tubuh ku berlahan-lahan dengan pasir. Tentunya memancing orang-orang disikitarnya seperti Icha dan Tisa melakukan hal yang sama, ditambah seorang anak, adik dari teman Eboy yang bernama Farhan ikut serta juga menutupi tubuh ku dengan pasir putih yang begitu lembut. Tidak lama, seluruh badanku sudah tertutup, sesudah berfoto-foto, Satria, juga diperlakukan sama, ia yang sedang berbaring disebelahku tertutup oleh pasir pada tubuhnya yang hanya menyisakan kepala kami saja untuk bernafas - menyenangkan -.

***

Setelah puas bermain dibawah teduh pepohonan, kami melanjutkan petualangan kami ke kampung seberang, kampung lama yang berjarak tidak begitu jauh dari posisi kami berdiri saat itu. Tujuan kami kesana salah satunya adalah menemukan penjual es kelapa muda, hal tersebut karena di kampung dimana kami menginap tidak ada yang berjualan kelapa muda, padahal dimana-mana pohon membentang tinggi, hanya saja tidak ada yang memanjatnya.

"Kelapa tanpa gula maupun susu 3 biji ya bang." kataku kepada penjual kelapa sesampainya kami di kampung tersebut.

Tidak membutuhkan waktu lama bagi kami untuk menghabiskannya. Yap, kami siap melanjutkan petualangan ini. Menurut perkataan orang-orang sekitar, jika kami mengikuti jalan setapak di belakang pulau kampung ini dan mendakinya hingga puncak, maka kami akan menemukan selongsong meriam peninggalan jaman Kolonial Belanda. Yang jadi pertanyaan bagi saya adalah seberapa penting pulau ini jaman dulu? Hingga ada salah satu pertahanan yang Belanda buat adalah di pulau ini. Namun pemikiran itu tersapu oleh buaian hijau rerumputan, biru lautan, dan rindang pepohonan. Betapa indah mendaki bukit kecil ini, pemandangannya sungguh memanjakan, terlihat tower salah satu provider celular di negeri ini bertengger teguh seolah melindungi bangunan sekolah dan hamparan rumput disekitarnya - sambil kami bermain-main tak terasa kami telah menaiki bukit hingga kami menemukan meriam yang banyak diceritakan orang tersebut.

Meriamnya seperti terkapar lemas, besi panjang berukuran sekitaran 4 meter tersebut terbujur kaku diatas tanah yang tertutup oleh guguran daun pepohonan. Namun sisa-sisa kekuatannya masih tergambar jelas disana, seolah masih bisa beroperasi meski karat telah menggerogoti. Menjadi saksi atas apa yang dulu pernah terjadi di sekitaran pulau tersebut. "Ayo kita pulang, pokoknya lewat jalan tadi, ngga usah cari-cari jalan lagi!" tegas manja Tisa kepada kami yang perasaannya telah terselimuti ketakutan, ya memang kami sebelumnya memiliki rencana untuk mencari jalan lain untuk menuruni bukit meriam ini.

***

Sudah hampir pukul setengah 6 sore, ini sudah saatnya kita menuju bagian barat dari pulau untuk menikmati matahari tenggelam. Kami ayuhkan sepasang kaki ini untuk mengantarkan sang mata melihat indahnya surya yang menuju ke peristirahatannya. Seolah raga ini merasa ke "stun" tak bergerak dan tak bergeming sedikitpun melihat apa yang terbentang indah disana. Kokoh tumpukan batuan karang, pasir putih yang menyilaukan memantulkan sinar mentari sore, serta lautan yang sungguh mempesona, ditambah hamparan hutan hujan tropis di balik semua itu. "Tuhan? inikah pekerjaan tangan kuasaMu? Betapa indahnya" hanya terbatin dalam lamunan keindahan.

"Hei..." "Apa itu tadi? suaranya? bukan... tidak mungkin, kita berada di belahan bumi yang berbeda, tidak mungkin itu suaranya."

"Aaaaaaa" mengapa terus menghantui? Dia sudah sepantasnya memiliki kehidupan yang lebih baik, aku tidak boleh mengganggunya, aku tidak boleh mengacaukannya, sudahlah, impianku, harapanku, hanya memperbaiki diri sendiri. Sudah terlalu rusak, sudah terlalu banyak bagian penting yang dibiarkan mati, tergantikan dan terkendalikan oleh ego yang begitu dominan merajai. "Batu yang hangat ini mengantarkanku pada kedamaian, ketenangan akan apa yang telah terjadi, banyak sayatan yang telah aku tinggalkan, entah siapa yang dia ijinkan untuk menyembuhkannya, aku memiliki hasrat untuk melakukannya, tapi, , aku tidak ingin mengacaukan kehidupannya." batin ku pelan ketika tak terasa beberapa penduduk setempat telah memperingatkan kami untuk segera kembali ke perkampungan karena hari mulai gelap.

***

Kami menjumpai masalah baru, saat dimana kami membutuhkan air untuk membasuh tubuh kami yang seharian kami ijinkan dikotori oleh kebahagiaan, kami tidak dapat menemukannya. Mesin pompa air milik pak Edy macet dan membuat persediaan air untuk kami habis. Hal itu diperparah dengan Icha yang benar-benar membutuhkan air bersih, ya karena saat itu adalah jatahnya dia dikunjungi teman yang rutin datang setiap bulannya.

"Gimana sih ini, udah rumah ngga dapet, gelap, air habis lagi, kita mau liburan, bukan kayak gini!" keluh Nala.
"Iya nih, pokoknya kita harus komplain!" tambah Tisa.

Seolah menggema suara-suara itu di gendang telinga kami - aku dan Satria - membuat kami merasa bingung apa yang harus dilakukan. Akhirnya dengan cepat Satria mengambil inisiatif mencari bantuan ke teman kami. Selain itu dia merelakan lembaran rupiahnya untuk digantikan dengan 3 botol besar air bersih, yang bertujuan minimal dapat membasuh badan mereka semua. Setelah mendapatkan kamar mandi hasil pinjaman dari teman, saya menimba air di sumur untuk digunakan mandi mereka, namun ternyata Tisa dan Nala sudah mandi terlebih dahulu. Tidak masalah, masih ada Icha yang jauh membutuhkan, dan Satria yang sudah bermandikan keringat seharian. Di waktu yang hampir bersamaan saya memilih untuk membasuh badan di dekat sumur, agar cepat bersih dan tidak perlu mengangkat ember yang cukup menguras tenaga.

Akhirnya badan kami telah disegarkan kembali, meskipun masih tersisa beberapa tekanan psikologis mengenai tempat tinggal kami dan fasilitas pendukungnya. "Kita pulang aja besok yuk, males nih!" tiba-tiba Tisa mengatakan sesuatu yang membuat gendang telingaku bergetar. "Yang benar saja, ini liburan kita, kita harus menikmatinya, ayolah, jangan terlalu banyak mengeluh, nikmati aja akan ada cerita pasti nanti, percayalah." balasku mencoba menenangkan pikirannya yang sedang rancu antara harapan dengan keadaan. "Ayo kita jalan-jalan ke dermaga aja, menikmati apa yang bisa kita temukan disana." Suara Satria yang mencoba mencairkan tekanan psikologis di benak kami masing-masing. Akhirnya seusai memenuhi perut kami dengan nasi dan ikan goreng buatan tangan istri dari pak Edy, kami melangkahkan kaki menuju dermaga. Di tengah perjalanan kami sempat bertemu dengan Eboy, yang sedari tadi sore mengajak kita membakar ikan bersama, namun karena kami memiliki perjalanan lain, maka Satria menolak dengan ramah. Meskipun demikian sekidit terlukis senyum kecewa Eboy yang dengan anggukannya mengisyaratkan tidak masalah. "Benar, ini liburan kami, harus bisa menikmatinya, harus bisa mengenangnya." anganku sendiri di dalam hati.

***

Begitu jelas terdengar suara detuman musik R n' B yang mengalun kencang di tepian dermaga. Benar saja, banyak orang yang sedang mengelilingi api unggun sembari berdansa berjoget gembira menikmati setiap nada yang keluar. Menyenangkan, aku bisa melihat betapa ini seperti "freedom" bagi mereka, sungguh lepas, tertawa, berdansa, sungguh menikmati, seolah tanpa beban, seolah semua masalah telah terusir jauh oleh detuman musik dan panas apian api unggun. Melihatnya saja, cukup membuatku sedikit rasa bagaimana mereka dapat berbahagia disana, bagaimana cara mereka menikmati kebabasan? pertanyaan itu yang membuatku terngiang-ngiang, seringnya dalam keramaian aku tetap sering merasa sendirian, bagaimana aku dapat mengambil respon kebebasan seperti para "anak pantai" ini nikmati? Hah, sudahlah, biarlah.

"Ada yang perlu kami bahas" tiba-tiba Satria dengan Tisa menepi dari kami untuk melakukan pembicaraan yang lebih pribadi. Memang sebelumnya mereka terlihat semakin akrab saja, tapi biarlah, itu urusan mereka, biarlah mereka saja yang mengetahuinya. Tinggalah Nala, Icha dan aku. Canda tawa sedkit menghiasi obrolan kami selagi menikmati langit yang begitu indah dengan lukisan rasi bintang yang terhampar luas di angkasa.

"Aku suka banget sama rasi bintang, gimana cara mempelajarinya yaa?" teriak si Nala.

Disisi lain terlihat Icha yang begitu menikmati tontonan para pemuda pantai yang sedang merdansa di tepian pantai. Aku hanya bisa merebahkan diriku, menikmati malam dengan lautan bintang yang sedikit terhalang awan. Namun beberapa kali kami tetap dapat menangkap bintang jatuh, yang konon kami harus segera melakukan permohonan kami sesudah melihatnya. "Haha" aku tertawa kecil ketika di dalam hati ketika melihat Nala sedang memejamkan matanya sambil memohon didalam hatinya atas harapan dan keinginannya. Tapi tiba-tiba dalam pikiran ku terhujani oleh jutaan harapan dan impian. "Apa aku harus melakukan hal yang sama juga? memohon atas harapanku seusai aku melihat bintang jatuh?" Selagi pikiran itu berkecamuk dalam benakku, mataku terpaku oleh kilatan cahaya putih lurus, yang aku yakin betul bahwa itu adalah bintang jatuh. Terbuang sudah semua pikiran tadi, tidak ada yang meminta, langsung saja aku memohon sesuatu atas harapanku.

"Aku hanya menginginkan. . . . . . ya Tuhan, cukup itu saja."

Cita yang aku lemparkan tepat di pulau kecil nan indah ini, mengantarkan buaian harapan dan keingainan. Akankah hidup seindah dan sesuai dengan pemikiran ku ini? Biarlah gelap malam, jutaan bintang, detuman musik dan kuning cahaya api unggun menjadi saksi atas cita yang aku ucapkan di sana. Biarlah waktu yang akan menjawabnya, karena ini hanya soal waktu, ya hanya soal kapan hal itu akan terjadi, tentunya aku meyakini suatu saat nanti, pasti akan terjadi. Damainya, tenangnya, terimakasih ya Tuhan.

"Kenapa bisa seperti ini sih? Apa yang terjadi?" tanya Nala mengenai masa laluku.
"Sudahlah, aku sudah terlalu banyak meninggalkan sayatan di hatinya, aku tidak bisa menjaganya, sekarang aku hanya ingin melihatnya bahagia. Seandainya bisa sebenarnya aku ingin merawat lukanya, tapi biarlah, siapa saja yang merawatnya, yang aku inginkan hanya kebahagiaannya."
"Dia wanita lucu dan penyayang, sangat disayangkan, kenapa harus dipisahkan? adakah harapan untuk satu kembali?" Nala kembali menghujani pertanyaan kepadaku.
"Aku sudah menjawabnya tadi, biarlah dia bahagia dengan dunianya, aku takut untuk mengganggunya lagi, meski ingin sekali aku melakukannya."

Penyayang - kata itu yang tiba-tiba merasuki lorong pikiranku. Benar, dia sungguh-sungguh seorang yang tulus mengasihi, kenapa? tapi kenapa aku tidak menjaganya? Terkadang memang bahasa kasih seseorang berbeda-beda, dan dia susah mengartikannya, yang ada justru menyakitinya. Itulah yang menjadi salah satu alasan aku tidak ingin mengganggunya lagi. Suasana semakin sunyi, tentunya di dalam hati, bukan membara seperti api unggun itu, atau hati Satria dan Tisa.

***

Setelah melewati malam pertama di tempat yang seharusnya tidak menjadi tempat tinggal kami, aku terjaga penuh dengan teka-teki, dimanakah matahariku? Langsung saja aku mengambil kamera saku ku dan meluncur keluar dengan harapan menemui sang mentari. Tapi, apa yang aku jumpai, awan yang menggumpal tebal menutupi lautan, menutupi kehangatan yang sebenarnya hendak mentari hantarkan. Aku duduk dibawah pohon kelapa, menikmati udara segar pagi di pantai itu. Mengumpulkan setiap kekuatan dan kesadaran, seketika merasa sakit saat menelan ludah sendiri, tenggorokanku terasa kering, bibirku serasa pecah, ya aku yakin aku terkena radang tenggorokan. Hmm, suhu badanku langsung meroket, gatal yang semula hanya ada di lengan akibat makan seafood dari tungkal menyebar ke seluruh tubuhku, seolah leluasa ketika pertahananku berhasil di jebol.

Hari kedua ini aku hanya terkapar lemas, merasakan tidak nyamannya atas apa yang menimpa aku saat itu. Dalam batin terdalam, aku ingin memberi kabar kepadanya, ahh, sudahlah, aku tidak mau mengganggunya, cukup kemarin aku mengetahuinya dia sendang bersama keluarganya, sudah cukup. Tidak disangka justru hari kedua pulau ini di hajar oleh hujan deras, dan angin kencang. Entah anugerah atau bencana, tapi sekali lagi, ya sudahlah. Sesudah itu aku hanya beristirahat saja dan melakukan pindahan ke rumah seberang. Diluar dugaan, kami bertemu dengan Winda, pemudi dari Jambi yang kami kenal saat kami mengikuti Persekutuan Pemuda di Gereja.

Hujan masih sedikit tersisa ketika kami memutuskan untuk melakukan perjalanan ke pantai bagian barat. Disana sebelumnya Satria berhasil menangkap seekor ikan yang kemudian dia tinggalkan tergeletak diatas karang, lalu kami berencana untuk mengambilnya kembali. Ya benar, ikannya masih ada, lucu, menggelikan, menyeramkan juga, saya tidak tahu ikan apa itu, hanya saja dia memiliki sekitar 6 sirip pada badannya, kepalanya juga seperti ular. Sebenarnya sesudah dari puncak bukit karang tersebut, kami berencana untuk melanjutkan ke pantai bagian barat, namun hujan sepertinya belum mengijinkan kami melakukan hal tersebut, yang memaksa kami untuk mengurungkan waktu kami dan menunggu waktu yang tepat untuk melakukan perjalanan.

Dalam kondisi tubuh yang kurang fit, saya memaksakan diri untuk melakukan aktifitas, menikmati suasana pinggir pantai. Ketika tiba-tiba terlihat serombongan pemuda yang memanggil saya untuk ikut bergabung bermain sepak bola di atas putihnya pasir pulau indah itu. Hati tidak dapat menolaknya, semangatnya sedikit melupakan sakit yang aku alami. Ya, sedikit gocek, oper sana sini, tendang sana sini, lari maju mundur, akhirnya aku berhasil membukukan satu gol ke gawang lawan. Memang tidak seberapa, namun tentunya sangat memuaskan.

***

Selagi air surut, Satria mengajak Tisa dan aku mengarungi pantai barat. Sudah tidak ada lagi gerimis, dan kami pun langsung melakukan perjalanan kami ke pantai bagian barat tersebut. Ya sebagai laki-laki aku harus mengerti, mengerti dimana posisi aku harus berjalan. Akhirnya kubiarkan langkah kakiku melangkah lebih cepat dari langkah Satria dan Tisa. Sendirian aku di depan aku menyusuri pantai yang begitu mempesona, dengan batuan karang serta pasir yang begitu lembut. Air laut yang begitu jernih seakan tidak malu-malu menunjukkan apa yang tersembunyi didalamnya.

"Seandainya. . ."

Harapanku melayang, aku tidak akan puas menikmati keindahan ini sendirian, aku ingin membagi keindahan ini bersamanya. Tapi, sekali lagi, aku tidak boleh mengganggunya, aku tidak boleh menghancurkan dunianya. Sudahlah, aku melanjutkan langkahku, menyusuri pantai, untuk sekedar mencari apa yang dapat aku temui untuk menceritakan keindahan alam di pulau itu. Membiarkan Satria dan Tisa menikmati bersama.

***

Aku terkapar lemas seusai membilas badanku dengan air bersih, suhu badan ku meningkat lagi, gatal-gatalku menyebar luas, memerah diseluruh bagian tubuh. "Kenapa harus sekarang Tuhan?" batinku seolah berontak atas apa yang menimpaku saat itu.

"Tunggu rumah aja ya, biar kami cari makan sekalian cari es kelapa untukmu." kata Satria selagi ia berberes pergi keluar bersama lainnya. Sesudah itu pun aku terbuai dalam tidur panjang siang itu.

Sepulangnya mereka mencari es kelapa muda untuk membantu menetralisir alergi yang menyerangku, hanya ucapan yang mampu mereka bawa, bahwa kelapa tidak ada, habis terjual sepertinya. Ya sudahlah, mau bagaimana lagi.

***

Winda datang menjemput kami untuk bepergian ke pantai, untuk sekedar mengabadikan momen di pulau itu saja. Akhirnya kami ke pantai dekat dermaga, untuk berfoto-foto disana. Sialnya terjadi beberapa kejadian yang sungguh sangat diluar dugaan kami, hp pemberian kakakku terjatuh di pantai, lalu terbongkar terurai oleh terjangan ombak. Untung masih bisa diselamatkan oleh Satria, namun tetap saja, kondisinya sudah terkapar, sepertinya kondisinya sudah memprihatinkan. Selain itu ditambah lensa kamera poketku yang mendadak eror, yang sampai sat ini pun aku belum mengetahuinya eror karena apa, karena sesudah itu kami dapat menggunakannya lagi. Sekali lagi dalam tekanan yang boleh menimpa ku aku hanya cukup berkata, ya sudahlah.

Malamnya aku habiskan untuk beristirahat, membiarkan sel imun ku menyembuhkan sakit yang sedang menimpaku itu, namun sepertinya hal itu tidak terjadi. Malam yang di terpa oleh deruan angin kencang membuat seolah lengkap sudah untuk apa yang aku alami seharian itu. Tubuh sakit, tekanan batin, kondisi yang tidak mendukung, peralatan yang terjadi kerusakan. "Haha" Sekali lagi, aku hanya bisa tertawa kecil di dalam hati, mencoba mengerti untuk apa semua itu boleh terjadi.

Disaat-saat badan sendang terkapar seperti itu, ada keluarga yang meminta ijin kepada kami agar dapat menggunakan kamar ke-2 karena mereka mengetahui dari pak Edy bahwa kami hanya ber-5 saja. Kamipun mengiyakan, lagian banyak anak kecil yang kasian juga mereka dibiarkan diluar terapu oleh angin malam lautan. Namun yang diluar dugaan kami, tidak berjarak lebih dari 2 jam sejak kedatangan keluarga pertama, masuk seorang ibu-ibu separuh baya yang tiba-tiba membentak-bentak kami dan menyuruh aku, Nala dan Icha yang semula sedang bersantai di ruang tamu untuk masuk kedalam kamar kami.

"Masuk kalian, kalau memang sewa satu kamar ya di kamar saja, kalian kan cuma berlima, kasian anak-anak, kalau kalian tidur-tiduran disini kami tidak dapat memakainya" bentaknya.
"Apa-apaan bu, kami sudah menyewanya terlebih dahulu" jawab Nala mempertahankan posisi kami.

Terjadi sedikit peperangan verbal disana, yang membuat Satria naik pitam, sempat ia bercekcok kata dengan ibu tersebut. Kami memang tidak membenarkan caranya, mengusir kami yang notabene adalah penyewa rumah, dan dengan semaunya sendiri menyuruh seluruh orang tua dengan anak-anaknya untuk masuk kerumah yang kami sewa tersebut. Bahkan dia sempat mengancam kami akan melaporkan ke suaminya, "Ha?" kami hanya tercengang, bukan karena kami takut, tapi karena kami tidak habis pikir apa sebenarnya yang ada di pikiran ibu tersebut. Setelah aku panggil pak Edy untuk membantu menyelesaikan ketegangan yang sempat terjadi, ibu itu juga memarah-marai beliau, seolah dia yang paling berkuasa di pulau tersebut. Singkat cerita pak Edy pergi untuk mencari pertolongan, datanglah seorang Kapolpos untuk membantu menyelesaikan masalah, tapi tanpa kami duga, ibu-ibu itu sudah hilang dari keramaian yang baru saja dia buat tadi. Sungguh kejadian yang melengkapi serangkaian kejadian aneh hari itu, Ya sudahlah.

"Sudah ini minum obat dulu!!" paksa Tisa dan Icha kepadaku sesaat setelah Icha selesai memijat punggungku dengan minyak ajaibnya. Membantu aku menutup hariku, hari yang cukup menyedihkan bagiku.

***

Seperti pagi sebelumnya, hangat sinar matahari masih tersembunyi di balik tebal awan yang membentang di langit pagi itu. Badanku terasa pegal, pikiranku tegang, terlebih batinku, tersiksa oleh suatu alasan yang aku sendiri tidak dapat mendefinisikannya. "Biarlah, nikmati saja, lagian ini liburan terakhirku di pulau yang fisiknya indah ini." batinku pelan dalam hati. Saat masih terbaring lemas, suara Tisa melengking, mengajak teman-teman wanitanya membasuh badan di kampung seberang. Akhirnya di rumah itu hanya tersisa aku dan Satria yang masih terbaring lemas juga - selain itu juga terdapat orang-orang yang tidak kami kenal juga tidur di rumah kontrakan kami -

Seolah masih merasa ini di mimpi, Winda datang mengejutkan, mengajak kami untuk berfoto-foto sebelum kami pulang, namun karena yang lain sedang mandi, akhirnya Satria menemaninya jalan terlebih dahulu, biar aku yang menunggu lainnya dan menyusulnya nanti.

Masih sekitar pukul 9 pagi ketika Nala, Tisa dan Icha selesai dari mandinya, langsung saja, kami mengisi perut kami yang ternyata hanya ada mie goreng saja. Lalu kami menyelusuri pantai, mengambil momen yang perlu kami abadikan. Tanpa diduga, kami menjumpai Satria sendang duduk diatas batu karang dengan Winda. Disisi lain aku bisa melihat tatapan yang mungkin bisa dibilang "kecemburuan" dari sudut tingkah laku Tisa. Disisi lain aku melihat betapa kikuknya Satria, yang masih berpikir harus bertindak apa.

Kamipun berfoto ria sambil menunggu pukul 11 dimana jadwal penjemputan oleh kapal kami. Banyak perasaan dari masing-masing pribadi disekitarku yang tidak dapat aku mengerti dengan pasti, yang jelas aku sendiri merasa, aku ingin berbagi, berbagi keindahan ini dengannya, dengannya disana, kenapa dia memilih untuk meninggalkanku? Aih, ya sudahlah. Lupakanlah. Aku hanya bisa mengukirkan semuanya pada butiran pasir yang tersusun rapi di pantai barat tersebut. Aku menuliskan namanya, harapanku, impianku.

Banyak cita dan cerita boleh aku alami di pulau ini, tapi tetap saja saraf pikiran di otakku ini mengantarkan pada sebuah nama, yang dari sebelum keberangkatan membayang di angan-angan. Hidupku masih memiliki harapan, pasti ada perubahan, semakin besar tantangan yang dia berikan untuk aku hadapi, semakin giat aku mengerjakannya. Dulu aku meruntuhkannya dalam waktu 6 bulan, saat belum mengenalnya. Saat ini ketika dia sudah mengenalku, aku pasti membutuhkan waktu lebih untuk meyaninkannya, tapi kembali lagi, biarlah , biarlah waktu yang menuntunku, harapanku hanya itu. Citaku telah aku ceritakan pada pulau ini, biarlah dia menjadi saksi yang tidak tahu menahu.

***

Sesudah itu, singkat cerita aku kembali ke kontrakanku. Mencoba mengawali impianku dengan perjuangan yang telah dibebankan yayasan kepadaku. Sebelumnya aku harus mengalahkan penyakit yang menggerogoti tubuh ku ini. Agar aku dapat menjalani keseharianku dengan impian yang ada di depanku, biarlah pulau itu menyimpan cita yang telah aku tinggalkan disana. Biarlah waktu atau awan yang akan mengantarkannya, agar jadi kenyataan atau kenangan. Hari ku masih membentang lebar di depan sana, harus kutaklukkan satu persatu untuk membahagiakan orang-orang terdekatku.

Terimakasih Satria, Nala, Tisa, Icha, untuk pengalaman indah kita di sana. Tidak lupa aku sampaikan terimakasih untuk pak Yansen, pak Acok, pak Rahman, pak Edy, Nissa, Eboy, Dedy, Farhan, Aan, dan penduduk serta awak kapal lainnya, sungguh memori yang tidak akan terlupakan, meski terkena terpaan angin kencang kehidupan.

Terimakasih juga, pelangi, yang sempat menyinari lautan sore itu, melambangkan harapan dan perjanjian. Citaku telah aku tanam dalam di Berhala, sebuah pulau kecil penuh keindahan dan kenangan. Semoga kelak aku dapat membagi keindahanmu bersamanya.

salam,
the sleeper

2 comments:

  1. Thanks ko, sudah mendokumentasikan pengalaman indah waktu itu. Saya jadi teringat kembali...haha...
    Memang seru :)

    ReplyDelete