Thursday, March 28, 2019

Kenyataan dalam Kesemuan

Bagaimana jika semua yang kita rasakan hanyalah semu? Menjadi abu dalam hitungan detik tersapu kenyataan dan kebenaran.

Aku berjalan pelan, menyaksikan langit yang mulai berubah kemerahan. Mendengarkan deru ombak yang kian syahdu melantun pelan. Ku bersihkan seadanya sebatang pohon yang tergeletak terasingkan dihamparan pasir yang begitu luas. Duduk diatasnya, diam melihat bintang yang samar-samar mulai bermunculan.

Terasa sangat tenang, atau mungkin lebih tepat terlihat sangat tenang, tak seperti kepala yang sedang berpacu begitu kencang. Tak sedikitpun ketenangan tadi benar-benar ada dalam kepala. Dunia yang sama tapi menjadi begitu berbeda, menjadi begitu bertolakan. Satu bicara tentang tunggu, satunya berkata, ayo cepat, berlarilah. Satu berbica tentang sudahlah, lalu satunya bersuara belum saatnya. Sayup-sayup berkata, kamu ini siapa, satu membisik, kamu itu bisa.

Aku mulai dibingungkan dengan mana yang aku rasa, atau yang aku damba. Sepertinya saat ini, lebih menguat untuk berkata, aku tak suka, dan aku perlu berani menghidupinya, sepertinya.

Seketika, sapaan 'hei, ayo pulang' membuyarkan semuanya, menghitamkan semua tadi yang masih berwarna abu. Aku perlu tahu bahwa ini semua bukan mimpi, bahwa semua yang aku alami bukan sebuah ilusi, tapi adalah hidup yang penuh dengan konsekuensi. Menjadi bervisi, atau hidup sebagai pemimpi.

No comments:

Post a Comment