Tuesday, January 6, 2015

Panjang, tak sesingkat waktunya

Sepertinya tahun telah berganti, dari angka 4 menjadi 5, satu tahun, 365 hari, terasa seperti kedipan mata saja. Tulisan ini mungkin akan sangat membosankan, setidaknya ini yang akan membantuku mengurangi beberapa keluh yang tidak semestinya aku pendam dalam. Desember 2014, siapa yang tidak menantikan bulan ini sebelum-sebelumnya? Sepertinya susah untuk tidak menantikannya, dimana Natal, liburan, hujan serta petualangan biasanya terbungkus menjadi satu. Begitu juga dengan ku, bulan ini sepertinya telah kurindukan sejak lama, menanti dimana paru-paru bisa menghirup udara lebih lama lagi dari biasanya, menanti dimana jantung akan bekerja lebih santai dari biasanya, dan menanti dimana mata akan tertutup lebih lama dari biasanya, serta menanti hati yang akan terisi pelukan dan senyuman orang-orang terkasih lebih banyak lagi dari biasanya.


Yap singkat cerita, 2014 bukanlah tahun yang mudah, meski telah berlalu, aku tidak lolos begitu saja. Sepertinya jika hidup ini adalah sebuah game, mungkin aku sudah mati jauh di awal-awal tahun, dimana menjadi seorang mahasiswa akhir bukanlaPnah sebuah misi yang mudah untuk dilalui. Tapi entah, lolos saja, terlebih Tuhan mempercayakan sebuah sekolah yang awalnya aku tidak ingin berada di dalamnya. Tapi, ujung-ujungnya Tuhan menaruhku untuk berkarya disana. Ya, hidup ini tidak semudah yang ada dipikiran semata, jauh lebih kompleks dari yang aku bayangkan. Bahkan seolah raga ini diisi oleh jiwa yanga tidak pada semestinya. Mungkin bisa satu sesi sendiri untuk menceritakan kisah panjang 2014 ku ini, tapi bukan itu yang ingin kutulis saat ini. Waktu singkat di penghujung tahun yang membawa aku pada pemikiran yang panjang, tak sesingkat waktunya.

Ujian akhir dan natal bersama di sekolah dimana aku mengajar telah usai. Sebagai seorang guru, tanggung jawab setelah itu adalah input nilai untuk keperluan raport, hal itupun telah kulakukan hari setelahnya, dan akhirnya aku berdiri di hari dimana itu merupakan hari terakhir kegiatan sekolah, dan aku sudah sangat siap menyambut liburanku. Liburan yang telah lama aku rancang dan aku nantikan. Malam itu aku langsung saja menggeber motor burung hantuku menuju tanah ibu kota, hendak menitipkannya di sanak sodara untuk ditinggal pulang kemudian.

Malam itu juga salah satu sahabatku dari Medan datang, aku dan Hendrik yang sudah menantikannya pun langsung memberi sambutan seperti biasa, muka datar. Ya secara emosi kami sangat senang, sudah satu semester ini kami dipisahkan oleh kesibukan kami masing-masing dan akhirnya kami bisa bertemu kembali. Esoknya kami menjemput salah satu sahabat kami yang baru landing dari Nias. Akhirnya kami bisa berkumpul kembali, rasanya bahagia, meskipun entah bagaimana aku pada waktu itu mengrekspesikannya.

Esok hari kami harus berpisah satu sama lain dengan tujuan natal yang berbeda-beda, setelah malam sebelumnya kami sempatkan melengkapi beberapa peralatan yang hendak akan kami butuhkan untuk liburan bersama nanti. Seperti biasa aku melanjutkan perjalananku ke kota yang begitu aku banggakan, Wonosobo. Dengan kereta, aku diantarkan menuju Jogjakarta, kota dimana kakakku tinggal. Esoknya pun akhirnya aku telah sampai di Wonosobo, kota dan rumah yang belasan tahun telah membesarkanku.

Ya ini natal, tapi pikiranku tidak karuan, fokusku bukan pada natalnya, fokusku justru pada liburan yang telah lama aku dan sahabat-sahabatku susun. Fatal, aku tidak menyadarinya saat itu. Dan benar saja, aku anggap ini sebagai sebuah tamparan dari Tuhan, salah satu sahabatku, Meph tidak mendapatkan ijin dari orang tuanya, yang sebelumnya Acil juga telah mengatakan hal yang sama. Akh tidak mungkin rasanya, rancangan perjalanan yang telah lama kami susun harus berantakan begitu saja, akh rasanya mustahil. Akhirnya kami merubah planning awal yang sebenarnya akan menuju Mahameru, kami ganti menjadi ke Wonosobo. Dengan keinginan yang masih terngiang-ngiang aku merancang sebuah perjalan ke puncak Gunung Kembang, yang berada di Wonosobo. Tapi mungkin ini memang sebuah nasihat dari Tuhan, rancangan tersebutpun harus aku urungkan.

Rasanya aku telah melakukan banyak kesalahan disini, fokusku telah melenceng, bukan pada sebuah kebersamaan justru pada sebuah ambisi. Entah, tapi sepertinya aku membuat beberapa sahabatku yang telah ke Wonosobo juga merasa tidak begitu nyaman. Meskipun Hendrik juga pada akhirnya tidak jadi merapat ke kota ini. Akh tapi banyak hal dan kesempatan bersama yang sepertinya aku lewatkan. Ini masih dari sisi persahabatan, belum dari keluarga, aku merasa banyak yang telah aku lewatkan, momen-momen yang seharusnya bisa kami nikmati bersama-sama.

Hingga tak terasa liburan telah berakhir, menyisakan luka yang aku buat sendiri. Hanya karena ambisi aku mengorbankan kebersamaan, aku mengorbankan kehangatan, aku mengorbankan perasaan dan banyak yang aku harusnya bisa dapatkan tapi memilih untuk melewatkannya. Setidaknya aku sekarang telah berdiri dimana tugasku sebagai seorang guru telah menanti, dengan bekal pembelajaran bahwa yang sudah semestinya kita mementingkan prioritas, dalam hal ini, kebersamaan dan kekeluargaan.

No comments:

Post a Comment